Begitu pintu kamar aku kunci, aku langsung mendekap Liana dari belakang, dan aku hujani tengkuknya dengan ciuman penuh nafsu. Liana terpekik. Tas tangannya terjatuh. Dia membalikkan badan dan menyambut dengan penuh gelora ciuman bibirku. Kami berpagutan. Aku lepas blus yang membungkus tubuhnya. Juga bra yang membungkus bukit kembarnya. Toketnya yang putih dengan puting warna pink menyembul. Masih kenceng, seperti puting gadis perawan. Aku dengan rakus melumatnya. Aku tak peduli lagi bahwa apa yang aku lakukan ini diintai dengan kedua mata Om Han, suami Liana.
SUATU kali di sebuah milis, aku membaca sebuah thread dari
seorang pria. Dia minta foto-foto bugil versi voyeurisme. Karena aku punya
koleksi, aku kirim lewat japri kepadanya. Dia membalas melalui email,
mengucapkan terima kasih dan minta koleksi lain kalau ada. Aku kirim. Balasan
selanjutnya, pria itu menceritakan tentang keanehan yang ada pada dirinya. Dia
sangat suka mengintip, baik orang yang lagi ML maupun perempuan bugil. Bahkan
istrinya sendiri pun dia intip. "Ada kepuasan tersendiri, walau ngintip
istri sendiri," tulisnya.
Sejak itu kami sering berkirim email. Aku juga tahu bahwa Om
Han tinggal di kota yang sama denganku. Dia selalu bercerita tentang dirinya.
Dari situ aku tahu, laki-laki itu agak lemah secara seksual. Dia menyadari
betul. Dia baru bisa terangsang secara hebat jika sudah mengintip. Sementara
istrinya termasuk perempuan yang amat doyan seks. Selalu meminta, tapi jarang
terpenuhi. Suami yang malang. Dia juga tahu istrinya tidur dengan beberapa
laki-laki lain.
Keterbukaan Om Han -- begitu aku menyapanya -- semakin
lebar. Dia akhirnya membuka rahasia besarnya dengan mengatakan bahwa dia
sebenarnya ikut andil dalam perselingkuhan istrinya. Andil? Om Han sendiri yang
mengaturnya, menyutradarainya. Sesungguhnyalah istrinya masuk ke dalam jebakan
Om Han. "Aku puas melihat bagaimana istriku bergumul dengan laki-laki itu.
Aku bahkan terangsang sangat hebat, dan seolah punya kekuatan ganda ketika
menyetubuhi Liana sambil membayangkan Liana dimakan laki-laki lain,"
katanya dalam email.
Om Han adalah seorang pria keturunan. Umurnya sekitar 45
tahun, hanya berselisih dua tahun denganku. Istrinya, Liana, berumur sekitar 35
tahun. Mereka sudah belasan tahun menikah tetapi belum punya anak. Keduanya
saling mencintai. Liana adalah tipe istri yang setia sebelumnya. Ya, sebelum Om
Han menjebaknya.
Aku sangat suka membaca email-email Om Han. Ceritanya
benar-benar seru dan mencengangkan. Tadinya aku mengira, orang-orang
"sakit seks" seperti Om Han hanyalah khayalan, atau cerita bohong.
Dan pada suatu ketika Om Han menulis email begini: You mau gak meniduri
istriku?
Aku terpana. Tidak menyangka akan menerima pertanyaan
selugas itu. Tawaran menggiurkan, tetapi sulit untuk aku jawab. Tak mudah
mengatakan "Mau". Ada perasaan tidak enak. Selama ini aku telah
memposisikan diriku sebagai seorang "sahabat", tempat curhat.
Bagaimana mungkin aku harus meniduri istrinya? Terminologinya seolah aku
merampas wilayah Om Han. Aku juga membayangkan bagaimana rasanya kalau istriku
ditiduri pria lain. Uhhh....
"Tetapi semua itu juga tergantung nasib. Maksud saya,
kalau Liana mau. Kalau dia merasa tak selera dengan Bung Andy, yaa you harus
mengerti," tulis Om Han.
Dalam email-emailku selanjutnya aku tidak mengatakan secara
tegas bahwa aku mau. Aku tidak yakin, ada perasaan khawatir, ada
ketidakpercayaan. Om Han tampaknya menilai aku mengkhawatirkan wajah istriku.
Makanya dalam email selanjutnya dia kirim foto istrinya. Seorang perempuan
keturunan Tionghoa yang cantik. Bahkan kiriman selanjutnya sangat
mencengangkan. Foto Liana selagi tidur, hasil "intipan" Om Han.
Difoto dari berbagai pose, termasuk yang menampakkan paha mulus dan CD-nya.
Seperti sudah kuungkapkan di depan, semua perselingkuhan
Liana atas prakarsa diam-diam Om Han. Om Han yang memberi jalan bagaimana
pertemuan antara Liana dengan kekasih gelapnya terjadi, dan seterusnya sampai
berlanjut ke kamar hotel. Baik, aku ceritakan saja tentang apa yang aku alami.
Setelah aku menerima tawaran Om Han (dengan malu-malu),
akhirnya Om Han mengajukan beberapa syarat. Pertama, semua harus diatur oleh Om
Han. Aku tinggal menjalani semua skenarionya. Jika aku melanggar, maka semuanya
batal.
"Jika semua lancar dan aku merasa puas, aku bahkan akan
membayar Bung Andy dengan uang yang cukup,' katanya. Kedua, aku harus menjaga
kerahasiaan. "Kita mencoba mencari kesenangan. Semua harus
bersenang-senang, dan berakhir penuh kesenangan. Aku tidak mau
ribut-ribut." Aku setuju dengan syarat-syaratnya.
Komunikasiku dengan Om Han selanjutnya dilakukan lewat HP.
Om Han menceritakan kebiasaan istrinya, kesukaannya. "Itu harus you pahami
agar bisa menaklukkan istriku." Dari situ aku tahu banyak kepribadian dan
kebiasaan Liana.
Liana termasuk perempuan pemalu, tetapi sangat suka dipuji.
Sebagaimana perempuan Tionghoa lainnya, Liana agak membatasi diri terhadap pria
non-Tionghoa. Karena itu Om Han minta supaya aku sangat berhati-hati.
Liana punya kegiatan berenang setiap hari Rabu. Om Han
memberi tahu tempat berenangnya. Dia biasa makan di resto kolam renang selepas
berenang. Dia selalu membawa mobil Peugeot 206 hijau metalik, nomor XXXX.
"Kalau ada prempuan turun dari mobil itu, dialah Liana," kata Om Han.
Om Han menyarankan aku supaya juga berenang, dan sesekali
mendekat ke arah Liana supaya perempuan itu mulai terbiasa dengan wajahku.
Tetapi jangan buru-buru melakukan pendekatan di kolam renang. Lebih baik di
resto. Dan sebelum aku melakukannya, aku mesti meminta izin kepada Om Han.
Akhirnya Rabu pagi itu aku mengontak Om Han, mengatakan
bahwa aku akan ke kolam renang. Om Han setuju, dan mengingatkan kembali tentang
apa-apa yang harus dan tidak harus aku lakukan. "Selamat berburu. Semoga
sukses Bung Andy," katanya. Sekitar jam 10 aku membolos kerja, hanya untuk
mencari perempuan bernama Liana. Sengaja aku datang agak pagi supaya tidak
keduluan Liana. Aku memarkir mobil, dan menunggu. Sekitar 30 menit kemudian
datangah mobil yang aku tunggu.
Seorang perempuan dengan tinggi badan sekitar 160cm turun
dari mobil. Rambutnya sebahu. Kulit putih bersih dan tubuh yang padat berisi.
Dia menenteng sebuah tas. Setelah dia masuk ke area kolam renang aku
menyusulnya. Masuk ke ruang ganti dengan buru-buru supaya bisa mengikuti Liana.
Soalnya aku takut keliru dengan perempuan lain. Maklum hanya sekilas tadi aku
melihat wajah Liana.
Setelah mengenakan pakaian renang, akupun mencebur ke kolam.
Berenang. Tidak banyak orang. Hanya beberapa yang berenang, itupun hampir
semuanya orang-orang chinese. Aku lihat perempuan menuju kolam. Liana. Gila,
bodinya bener-bener membuatku ngiler. Alangkah sedapnya bisa meniduri dia.
Perempauan itu sudah membasahi tubuhnya dengan air. Pakaian renangnya
benar-benar mengeksplorasi keindahan tubuhnya. Dia segera mencebur, dan
berenang gaya dada. Memperhatikan Liana, jantungku berdebar-debar. Aku tidak
berani bertindak. Aku ikuti saran Om Han. Awalnya jarak start kami sekitar 3
meteran. Tetapi ketika berbalik arah aku sengaja landing mendekat ke arah dia.
Lalu pura-pura istirahat, menunggu Liana datang. Setelah beberapa kali,
akhirnya terjadilah. Liana tersenyum kecil ke arahku. Aku membalasnya. Mungkin
itu dia lakukan karena memang tak banyak yang berada di kolam, dan kami selalu
berdekatan posisi. Makin lama makin sering kami melempar senyum, dan aku
mencoba untuk menyapanya.
"Gerakannya bagus sekali. Dulu les ya ci?" kataku
memuji. Dia tersenyum tapi tidak menjawab dengan kata. Aku tinggalkan dia dan
mengambil gaya kupu-kupu. Aku ingin menarik perhatiannya. Ini adalah gaya yang
paling sulit. Tak banyak yang bisa melakukan kecuali pernah ikut les. Rupanya
dia memperhatikanku.
"Mas tuh yang pernah les," katanya. Aku senang
sekali.
"Sudah lama sih," jawabku. Pura-pura tak acuh, aku
kembali mengayunkan tangan dan kaki menjauh darinya. Liana masih di sana.
Mungkin mulai kecapekan. Ketika kembali ke tempat semula aku mendekati Liana.
"Sering berenang ke sini ya ci?"
"Ya kadang-kadang aja."
"Ooo, saya baru kali ini. Biasanya di Graha. Tapi
pengin suasana baru. Ternyata di sini enak. Sepi dan airnya jernih,"
kataku.
"Di Graha juga jernih kan?
Percakapan ringan terjadi. Kami mulai agak akrab. Sampai
akhirnya kami berada di resto. Dia memesan mie titee, dan aku pisang goreng.
"Laper kalau habis berenang," kataku. Liana
membungkus tubuhnya dengan handuk. "Kok sendirian aja ci?"
"Iya saya biasa sendirian," sahutnya.
"Gak dianter pacar? Ga kerja?"
"Pacar, saya sudah bersuami kok. Suami saya kerja saya
ibu rumah tangga."
"Hah? Sudah bersuami? keliatannya kayak bujangan. Emang
umur cici berapa? Aku berbohong, sekadar untuk membuatnya bangga.
"35 tahun."
"Ahh bohong. Masih muda gitu."
Percakapan itu berjalan lancar. Kami juga sempat
tukar-menukar nomor HP. Kami berjanji akan bertemu lagi Rabu pekan depan.
Aku ceritakan semuanya ke Om Han yang terjadi hari itu. Om
Han juga senang dan memujiku sebagai pria yang gentle. "Kayaknya you mau
sukses. Teruskan saja." Om Han juga mengizinkan aku untuk berkomunikasi
lewat HP dengan istrinya. Yang penting. Aku tidak boleh berkencan tanpa
sepengetahuannya. Aku juga dilarang bercerita soal keterlibatan Om Han, karena
Liana bisa tersinggung. "Nanti bisa bisa buyar semuanya," kata Om
Han.
Komunikasi lewat SMS dengan Liana berjalan lancar. Bahkan
sudah mulai mesra, sampai kahirnya aku mengajaknya untuk berkencan. Ajakanku
diterima, dan aku melaporkan itu kepada Om Han. Akhirnya Om Han memintaku
bertemu dengannya. Aku menemui Om Han di sebuah kafe pada sore hari. Om Han
berbadan tinggi. Wajahnya biasa saja. Sejak semula aku menduga dia orang yang
sangat kaya. Dan itu terbukti ketika aku bertemu untuk pertama kalinya. Dia
mengendarai BMW jenis SUV warna hitam. Mobil yang gagah sekali. Limited
edition. Dia senang sekali bertemu denganku. "Maaf Bung Andy, kayaknya
Bung Andy menjadi pria Jawa pertama yang meniduri Liana. Selama ini yaa sesama
chinese," katanya. Setelahnya Om Han akan mengatur jadwal kencanku dengan
Liana.
"Aku yang booking kamar, tapi nanti bilang sama Liana,
you yang booking," kata Om Han.
Ternyata aku harus booking kamar di Hotel X. Kenapa tidak di
Hotel Y, rupanya inilah tak-tik Om Han untuk mengintip aku dan Liana. Om Han
membooking dua kamar. Satu untuk aku, satu lagi kamar sebelahnya untuk dia dan
peralatan mengintipnya. Dan ... ini yang tidak disadari Liana. Di dalam mobil
Liana telah terpasang kamera pengintip yang tersembunyi. Kamera ini terhubung
melalui sinyal ke dalam monitor yang ada di tangan Om Han. Dia tahu semua yang
terjadi di mobil istrinya. Ini baru aku ketahui beberapa hari setelah kencan
terjadi. Itu pun atas pemberitahuan Om Han. Karena itu Om Han minta supaya
kencan dilakukan dengan mobil Liana, sehingga sepanjang perjalanan menuju
hotel, Om Han mengetahui apa yang terjadi. Benar-benar luar biasa laki-laki
tajir itu. Sepanjang perjalanan aku dan Liana memang sudah saling cubit, saling
remas. Bahkan aku yang pegang kemudi digoda dengan remasan-remasan nakal di
kontolku. "Ayooo.. keluarin di mobil aja..." Liana tertawa.
"Dodol ah..." jawabku. Singkat cerita aku dan
Liana telah memasuki kamar hotel. Tak sabar rasanya ingin segera ngentot Liana.
Sejak dalam perjalanan nafsuku sudah meledak-ledak.
Begitu pintu kamar aku kunci, aku langsung mendekap Liana
dari belakang, dan aku hujani tengkuknya dengan ciuman penuh nafsu. Liana
terpekik. Tas tangannya terjatuh. Dia membalikkan badan dan menyambut dengan
penuh gelora ciuman bibirku. Kami berpagutan. Aku lepas blus yang membungkus
tubuhnya. Juga bra yang membungkus bukit kembarnya. Toketnya yang putih dengan
puting warna pink menyembul. Masih kenceng, seperti puting gadis perawan. Aku
dengan rakus melumatnya. Aku tak peduli lagi bahwa apa yang aku lakukan ini
diintai dengan kedua mata Om Han, suami Liana.
Aku rebahkan tubuh Liana, kulucuti semua pakaiannya hingga
tak satu helai benang menempel di tubuh putihnya. Aku jilati semuanya. Semua.
Benar-benar baru kali ini aku melihat tubuh seputih itu. Bahkan di antara
selangkangan, seputar anus, nyaris tanpa warna coklat atau hitam. Tak
ragu-ragu, aku jilati seluruh memek dan isinya, juga seputar anusnya. Liana
menggelepar-gelepar tidak karuan. Dia meminta kontolku, dan dikulumnya dengan
rakus.
"Agghhhhh...." Aku mengeluh panjang. Kuluman yang
luar biasa. Tampaknya Liana sangat pintar. Kontolku terbenam seluruhnya ke
dalam kerongkongannya. Kontolku memang tidak terlalu besar dan panjang. Ya
ukuran Asia, sekitar 12cm. Bibirnya menempel di kulit perut bawahku. Dia hisap,
dia kili-kili dengan lidahnya. Aku menjerit tertahan. Merasakan nikmat yang
amat sangat. Lama kami bermain 69. Rupanya Liana sangat suka gaya ini. Dia tak
segera mengakhiri permainan 69. Dia balikkan tubuh kami, sehingga aku berada di
bawah. Diangkatnya pantatnya sehingga memeknya menjauh dari mulutku. Tadinya
aku mengira dia ingin mengakhiri 69. Tetapi ternyata Liana ingin mulutku
mengejar memeknya. "Ayo sayang... emut lagi..." pintanya. Ketika aku
menjilat, dia berusaha menjauhkan lagi dengan mengangkat bokongnya. Maka aku
pun memeluk pinggangnya. "Yeahhhh...." Dia melenguh saat tubuhku
menggandul di pinggangnya sambil menjilati itilnya. "Terusss... sayang...
teruss..." Ia kembali mengemut kontolku. "Pakai jari sayang..."
Aku masukkan jari tengahku, dan mengobok-obok memeknya yang
sudah basah kuyup. Liana melonjak-lenjak kenikmatan, lalu mengerang tertahan.
Rupanya dia orgasme. Bersamaan dengan itu, diisapnya kontolku kuat-kuat.
"Keluarin sayang... keluarin...." Dia
menepuk-nepuk pahaku memintaku segera ejakulasi. Aku coba mengejan, tetapi tak
juga berasa ejakulasi. Dia kocok kontolku dengan mulutnya sambil terus
dihisap-hisap.
"Ohhhh... sayang... aku mau keluar," kataku.
"Ayoo keluarin.. keluarin..."
Dan akhirnya memang keluar. Maniku menyemprot jauh ke dalam
kerongkongannya. Dia menghisap begitu kuatnya, sampai kontolku terasa ngilu,
dan tubuh seolah terpental ke awang-awang. Baru kali ini aku mengalami
ejakulasi sehebat ini. Setelah itu, benar-benar lemas. Nyaris seperti pingsan.
Liana tampak berusaha menelan sisa-sisa maniku di mulutnya.
"Kamu gak jijik say?"
"Gak. Enak banget kok," katanya. "Kan tadi
kamu juga gak jijik jilati anusku." Aku meraih tubuhnya dan mencium dia.
Aku memeluk erat Liana sebagai rasa terima kasih atas pelayanannya yang luar
biasa.
Kami kembali bermain beberapa menit kemudian. Persenggamaan
yang seru. Gaya-gaya dalam BF yang belum pernah aku jalani kami lakukan. Hanya
ketika aku meminta anus, Liana menolak. Rupanya Liana paling suka gaya tusukan
dari belakang. Dia memunggungiku, aku mengarahkan kontol melewati pantatnya.
Dia menjerit-jerit, mencengkeramku. Dia berusaha menoleh ke belakang mencari
bibirku. Ketika kami berciuman lidahnya menari-nari liar. Dia juga memintaku
menjulurkan lidah, dan dihisap-hisapnya lidahku. Semakin aku keras menggenjot
kontol, semakin liar reaksi dia. Liana menyukai gaya itu, katanya sentuhan
kontol ke bagian-bagian memeknya sangat fantastis. Dia juga merasa kenikmatan
ketika bulu-bulu kemaluanku menyapu pantatnya. "Kayak dikili-kili.."
katanya. Kami bermain sampai sore hari. Sekitar jam 4 sore Liana berkemas.
"Aku harus segera pulang. Sebentar lagi suamiku pulang
kerja. Kalau aku gak ada di rumah bisa dicincang aku," katanya. Aku diam
saja, dan baru teringat akan Om Han. Entah apa yang dipikirkan dan dilakukan
pria itu di kamar sebelah....
Aku tidak pernah tahu karena Om Han tidak pernah bercerita
dan aku tidak enak hati bertanya. Yang agak mengagetkanku, keesokan harinya Om
Han mencoba memberiku sejumlah uang. Cukup banyak. Kutaksir lima jutaan. Tetapi
aku menolaknya. Dia coba memaksa, tetapi aku tetap menolak. "Saya kan yang
diuntungkan Om, saya yang enak." Om Han tampaknya senang dengan reaksiku.
Percintaanku dengan Liana berlanjut beberapa bulan kemudian.
Semua berjalan lancar. Selama itu aku tidak pernah mengkhianati Om Han dengan
misalnya kencan diam-diam. Setelah itu Om Han memintaku mengakhirinya.
"Ini untuk kebaikan bersama Bung," katanya. Baik untuk menjaga
rahasia dari Liana, juga mencegah kemungkinan larutnya aku ke dalam hubungan
yang lebih personal dengan Liana. "Kasihan istri Bung kalau keterusan. Aku
mohon pengertian Bung ..."
Meski dengan berat hati, aku menuruti kemauan Om Han. Sejak
itu aku mencoba menghindari Liana, dan kembali hidup sebagai petualang yang
berburu mangsa....