BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Cari Blog Ini

selingkuhanku bersama kakak ipar

Saya seorang pria berumur 37
tahun. Istri saya satu tahun
lebih muda dari saya. Secara
keseluruhan kami keluarga
bahagia dengan dua anak yang
manis-manis. Yang sulung,
laki-laki kelas 5 SD
dan bungsu laki-laki juga
Saya bekerja di sebuah
perusahaan telekomunikasi.
Sedangkan istri saya seorang
wanita karier yang sukses di
bidang farmasi. Kini dia
menjabat sebagai Distric
Manager. Kami saling mencintai.
Dia merupakan seorang istri
yang setia. Saya sendiri pada
dasarnya suami yang setia pula.
Paling tidak saya setia terhadap
perasaan cinta saya kepada istri
saya. Tapi tidak untuk soal seks.
Saya seorang peselingkuh. Ini
semua karena saya memiliki
libido yang amat tinggi
sementara istri saya tidak cukup
punya minat di bidang seks.
Saya menginginkan hubungan
paling tidak dua kali dalam
seminggu. Tetapi istri saya
menganggap sekali dalam
seminggu sudah berlebihan.
Dia pernah bilang kepada saya,
"Lebih enak hubungan sekali
dalam sebulan."
Tiap kali hubungan kami
mencapai orgasme bersama-
sama. Jadi sebenarnya tidak ada
masalah dengan saya.
Rendahnya minat istri saya itu
dikarenakan dia terlalu
terkuras tenaga dan pikirannya
untuk urusan kantor. Dia
berangkat ke kantor pukul
07.30 dan pulang lepas Maghrib.
Sampai di rumah sudah lesu dan
sekitar pukul 20.00 dia sudah
terlelap, meninggalkan saya
kekeringan. Kalau sudah begitu
biasanya saya melakukan onani.
Tentu tanpa sepengetahuan dia,
karena malu kalau ketahuan.
Selama perkawinan kami sudah
tak terhitung berapa kali saya
berselingkuh. Kalau istri saya
tahu, saya tak bisa
membayangkan akan seperti
apa neraka yang diciptakannya.
Bukan apa-apa. Perempuan-
perempuan yang saya tiduri
adalah mereka yang sangat
dekat dengan dia. Saya
menyimpan rapat rahasia itu.
Sampai kini. Itu karena saya
melakukan persetubuhan hanya
sekali terhadap seorang
perempuan yang sama. Saya tak
mau mengulanginya. Saya
khawatir, pengulangan bakal
melibatkan perasaan. Padahal
yang saya inginkan cuma
persetubuhan fisik. Bukan hati
dan perasaan. Saya berusaha
mengindarinya sebisa mungkin,
dan memberi kesan kepada si
perempuan bahwa semua yang
terjadi adalah kekeliruan.
Memang ada beberapa
perempuan sebagai
perkecualian yang nanti akan
saya ceritakan.
Perempuan pertama yang saya
tiduri semenjak menikah tidak
lain adalah kakak istri saya. Oh
ya, istri saya merupakan anak
ketiga dari lima bersaudara.
Semuanya perempuan. Istri
saya sebut saja bernama Yeni.
Kedua kakak Yeni sudah
menikah dan punya anak.
Mereka keluarga bahagia
semuanya, dan telah memiliki
tempat tinggal masing-masing.
Hanya saya dan istri yang ikut
mertua dua tahun pertama
perkawinan kami. Setiap
minggu keluarga besar istri saya
berkumpul. Mereka keluarga
yang hangat dan saling
menyayangi.
Mbak Maya, kakak istri saya ini
adalah seorang perempuan yang
dominan. Dia terlihat sangat
menguasai suaminya. Saya
sering melihat Mbak Maya
menghardik suaminya yang
berpenampilan culun. Suami
Mbak Maya sering berkeluh-
kesah dengan saya tentang sikap
istrinya. Tetapi kepada orang
lain Mbak Maya sangat ramah,
termasuk kepada saya. Dia
bahkan sangat baik. Mbak Maya
sering datang bersama kedua
anaknya berkunjung ke rumah
orang tuanya -yang artinya
rumah saya juga- tanpa
suaminya.
Kadang-kadang sebagai basa-
basi saya bertanya, "Kenapa Mas
Wid tidak diajak?"
"Ahh malas saya ngajak dia,"
jawabnya.
Saya tak pernah bertanya lebih
jauh.
Seringkali saat Mbak Maya
datang dan menginap, pas istri
saya sedang tugas luar kota. Istri
saya dua minggu sekali keluar
kota saat itu. Dia adalah seorang
detailer yang gigih dan
ambisius. Jika sudah demikian
biasanya ibu mertua saya yang
menyiapkan kopi buat saya,
atau makan pagi dan makan
malam. Tapi jika pas ada Mbak
Maya, ya si Mbak inilah yang
menggantikan tugas ibu mertua.
Tak jarang Mbak Maya
menemani saya makan.
Karena seringnya bertemu,
maka saya pun mulai dirasuki
pikiran kotor. Saya sering
membayangkan bisa tidur
dengan Mbak Maya. Tapi
mustahil. Mbak Maya tidak
menunjukkan tipe perempuan
yang gampang diajak tidur.
Karenanya saya hanya bisa
membayangkannya. Apalagi
kalau pas hasrat menggejolak
sementara istri saya up country.
Aduhh, tersiksa sekali rasanya.
Dan sore itu, sehabis mandi
keramas saya mengeringkan
rambut dengan kipas angin di
dalam kamar. Saya hanya
bercelana dalam ketika Mbak
Maya mendadak membuka
pintu.
Lagi ceweknya di http://
cewek.mobi
"Kopinya Dik Andy."
Saya terkejut, dan Mbak Maya
buru-buru menutup pintu
ketika melihat sebelah tangan
saya berada di dalam celana
dalam, sementara satu tangan
lain mengibas-ibas rambut di
depan kipas angin. Saya malu
awalnya. Tetapi kemudian
berpikir, apa yang terjadi
seandainya Mbak Maya melihat
saya bugil ketika penis saya
sedang tegang?
Pikiran itu terus mengusik saya.
Peristiwa membuka pintu kamar
dengan mendadak bukan hal
yang tidak mungkin. Adik-adik
dan kakak-kakak istri saya
memang terbiasa begitu.
Mereka sepertinya tidak
menganggap masalah. Seolah
kamar kami adalah kamar
mereka juga. Adik istri saya
yang bungsu (masih kelas II
SMU, sebut saja Rosi) bahkan
pernah menyerobot masuk
begitu saja ketika saya sedang
bergumul dengan istri saya.
Untung saat itu kami tidak
sedang bugil. Tapi dia sendiri
yang malu, dan berhari-hari
meledek kami.
Sejak peristiwa Mbak Maya
membuka pintu itu, saya jadi
sering memasang diri, tiduran di
dalam kamar dengan hanya
bercelana dalam sambil coli
(onani). Saya hanya ingin
menjaga supaya penis saya
tegang, dan berharap saat itu
Mbak Maya masuk. Saya
rebahan sambil membaca
majalah. Sialnya, yang saya incar
tidak pernah datang. Sekali
waktu malah si Rosi yang masuk
buat meminjam lipstik istri saya.
Ini memang sudah biasa. Buru-
buru saya tutupkan CD saya.
Tapi rupanya mata Rosi keburu
melihat.
"Woww, indahnya."
Dia tampak cengengesan sambil
memolesi bibirnya dengan
gincu.
"Mau kemana?" tanya saya.
"Nggak. Pengin makai lipstik
aja."
Saya meneruskan membaca.
"Coli ya Mas?" katanya.
Gadis ini memang manja, dan
sangat terbuka dengan saya.
Ketika saya masih berpacaran
dengan istri saya, kemanjaannya
bahkan luar biasa. Tak jarang
kalau saya datang dia
menggelendot di punggung
saya. Tentu saya tak punya
pikiran apa-apa. Dia kan masih
kecil waktu itu. Tapi sekarang.
Ahh. Tiba-tiba saya
memperhatikannya. Dia sudah
dewasa. Sudah seksi. Teteknya
34. Pinggang ramping, kulit
bersih. Dia yang paling cantik di
antara saudara istri saya.
Pikiran saya mulai kotor.
Menurut saya, akan lebih
mudah sebenarnya menjebak
Rosi daripada Mbak Maya. Rosi
lebih terbuka, lebih manja.
Kalau cuma mencium pipi dan
mengecup bibir sedikit, bukan
hal yang sulit. Dulu saya sering
mengecup pipinya. Tapi sejak
dia kelihatan sudah dewasa,
saya tak lagi melakukannya.
Akhirnya sasaran jebakan saya
beralih ke Rosi. Saya mencoba
melupakan Mbak Maya.
Sore selepas mandi saya
rebahan di tempat tidur, dan
kembali memasang jebakan
untuk Rosi. Saya berbulat hati
untuk memancing dia. Ini hari
terakhir istri saya up country.
Artinya besok di kamar ini
sudah ada istri saya. Saya elus
perlahan-lahan penis saya
hingga berdiri tegak. Saya tidak
membaca majalah. Saya seolah
sedang onani. Saya pejamkan
mata saya. Beberapa menit
kemudian saya dengar pintu
kamar berderit lembut. Ada
yang membuka. Saya diam saja
seolah sedang keasyikan onani.
Tidak ada tanggapan. Saya
melihat pintu dengan sudut
mata yang terpicing. Sialan. Tak
ada orang sama sekali. Mungkin
si Rosi langsung kabur. Saya
hampir saja menghentikan onani
saya ketika dari mata yang
hampir tertutup saya lihat
bayangan. Segera saya
mengelus-elus penis saya
dengan agak cepat dan badan
bergerak-gerak kecil. Saya
mencoba mengerling di antara
picingan mata. Astaga! Kepala
Mbak Maya di ambang pintu.
Tapi kemudian bayangan itu
lenyap. Lalu muncul lagi, hilang
lagi, Kini tahulah saya, Mbak
Maya sembunyi-sembunyi
melihat saya. Beberapa saat
kemudian pintu ditutup, dan tak
dibuka kembali sampai saya
menghentikan onani saya. Tanpa
mani keluar.
Malamnya, di meja makan kami
makan bersama- sama. Saya,
kedua mertua, Mbak Maya, Rosi
dan kakak Rosi, Mayang.
Berkali-kali saya merasakan
Mbak Maya memperhatikan
saya. Saya berdebar-debar
membayangkan apa yang ada di
pikiran Mbak Maya. Saya
sengaja memperlambat makan
saya. Dan ternyata Mbak Maya
pun demikian. Sehingga sampai
semua beranjak dari meja
makan, tinggal kami berdua.
Selesai makan kami tidak
segera berlalu. Piring-piring
kotor dan makanan telah
dibereskan Mak Jah, pembantu
kami.
"Dik Andy kesepian ya? Suka
begitu kalau kesepian?" Mbak
Maya mebuka suara.
Saya kaget. Dia duduk persis di
kanan saya. Dia memandangi
saya. Matanya seakan jatuh
kasihan kepada saya. Sialan.
"Maksud Mbak May apaan sih?"
saya pura-pura tidak tahu.
"Tadi Mbak May lihat Dik Andy
ngapain di kamar. Sampai Dik
Andy nggak liat. Kalau sedang
gitu, kunci pintunya. Kalau Rosi
atau Ibu lihat gimana?"
"Apaan sih?" saya tetap pura-
pura tidak mengerti.
"Tadi onani kan?"
"Ohh. " Saya berpura-pura malu.
Perasaan saya senang
bercampur gugup, menunggu
reaksi Mbak Maya. Saya
menghela nafas panjang.
Sengaja.
"Yahh , Yeni sudah tiga hari
keluar kota. Pikiran saya sedang
kotor. Jadi.."
"Besok lagi kalau Yeni mau
keluar kota, kamu minta jatah
dulu."
"Ahh Mbak May ini. Susah Mbak
nunggu moodnya si Yeni.
Kadang pas saya lagi pengin dia
sudah kecapekan."
"Tapi itu kan kewajiban dia
melayani kamu?"
"Saya tidak ingin dia melakukan
dengan terpaksa."
Kami sama- sama diam. Saya
terus menunggu. Menunggu.
Jantung saya berdegup keras.
"Kamu sering swalayan gitu?"
"Yaa sering Mbak. Kalau pengin,
terus Yeni nggak mau, ya saya
swalayan. Ahh udah aahh. Kok
ngomongin gitu?"
Saya pura-pura ingin
mengalihkan pembicaraan. Tapi
Mbak Maya tidak peduli.
"Gini lho Dik. Masalahnya, itu
tidak sehat untuk perkawinan
kalian. Kamu harus berbicara
dengan Yeni. Masa sudah punya
istri masih swalayan."
Mbak Maya memegang
punggung tangan saya.
"Maaf Mbak. Nafsu saya besar.
Sebaliknya dengan Yeni. Jadi
kayaknya saya yang mesti
mengikuti kondisi dia." Kali ini
saya bicara jujur. "Saya cukup
puas bisa melayani diri sendiri
kok."
"Kasihan kamu."
Mbak Maya menyentuh ujung
rambut saya, dan disibakkannya
ke belakang. Saya
memberanikan diri menangkap
tangan itu, dan menciumnya
selintas. Mbak Maya seperti
kaget, dan buru- buru
menariknya.
"Kapan kalian terakhir
kumpul?"
"Dua atau tiga minggu lalu,"
jawab saya.
Bohong besar. Mbak Maya
mendesis kaget.
"Ya ampuun. "
"Mbak. Tapi Mbak jangan bilang
apa-apa ke Yeni. Nanti salah
pengertian. Dikira saya
mengadu soal begituan."
Mbak Maya kembali
menggenggam tangan saya. Erat,
dan meremasnya. Isi celana saya
mulai bergerak-gerak. Kali ini
saya yang menarik tangan saya
dari genggaman Mbak Maya.
Tapi Mbak Maya menahannya.
Saya menarik lagi. Bukan apa-
apa. Kali ini saya takut nanti
dilihat orang lain.
"Saya horny kalau Mbak pegang
terus."
Mbak Maya tertawa kecil dan
melepaskan tangan saya. Dia
beranjak sambil mengucek-ucek
rambut saya.
"Kaciaann ipar Mbak satu ini."
Mbak Maya berlalu, menuju
ruang keluarga.
"Liat TV aja yuk," ajaknya.
Saya memaki dalam hati. Kurang
ajar betul. Dibilang saya horny
malah cengengesan, bukannya
bilang, "Saya juga nih, Dik. "
Setengah jengkel saya
mengikutinya. Di ruang keluarga
semua kumpul kecuali Rosi.
Hanya sebentar. Saya masuk ke
kamar.
Sekitar pukul 23.00 pintu kamar
saya berderit. Saya menoleh.
Mbak Maya. Dia menempelkan
telunjuknya di bibirnya.
"Belum bobo?" tanyanya lirih.
Jantung saya berdenyut keras.
"Belum. " Jawab saya.
"Kita ngobrol di luar yuk?"
"Di sini saja Mbak." Saya seperti
mendapat inspirasi.
"Ihh . Di teras aja. Udah ngantuk
belum?"
Mbak Maya segera menghilang.
Dengan hanya bersarung
telanjang dada dan CD saya
mengikuti Mbak Maya ke teras.
Saya memang terbiasa tidur
bertelanjang dada dan
bersarung. Rumah telah senyap.
TV telah dimatikan. Keluarga ini
memang terbiasa tidur sebelum
jam 22.00. Hanya aku yang betah
melek.
Mbak Maya mengenakan daster
tanpa lengan. Ujung atas hanya
berupa seutas tali tipis. Daster
kuning yang agak ketat. Saya
kini memperhatikan betul lekuk
tubuh perempuan yang berjalan
di depan saya itu. Pantat
menonjol. Singset. Kulitnya
paling putih di antara semua
sadaranya. Umurnya berselisih
tiga tahun dengan Yeni.
Mbak Maya duduk di bangku
teras yang gelap. Bangku ini
dulu sering saya gunakan
bercumbu dengan Yeni. Wajah
Mbak Maya hanya terlihat
samar-samar oleh cahaya lampu
TL 10 watt milik tetangga
sebelah. Itupun terhalang oleh
daun-daun angsana yang
rimbun.
Dia memberi tempat kepada
saya. Kami duduk hampir
berhimpitan. Saya memang
sengaja. Ketika dia mencoba
menggeser sedikit menjauh,
perlahan-lahan saya
mendekakan diri.
"Dik Andy" Mbak Maya
membuka percakapan.
"Nasib kamu itu sebenernya tak
jauh beda dengan Mbak."
Saya mengernyitkan dahi.
Menunggu Mbak Maya
menjelaskan. Tapi perempuan
itu diam saja. tangannya
memilin-milin ujung rambut.
"Maksud Mbak apa sih?"
"Tidak bahagia dalam urusan
tempat tidur. Ih. Gimana sih."
Mbak Maya mencubit paha saya.
Saya mengaduh. Memang sakit,
Tapi saya senang. Perlahan-
lahan penis saya bergerak.
"Kok bisa?"
"Nggak tahu tuh. Mas Wib itu
loyo abis."
"Impoten ?" Saya agak kaget.
"Ya enggak sih. Tapi susah
diajakin. Banyak nolaknya.
Malas saya. Perempuan kok
dibegituin,"
"Hihihi. . Tadi kok kasih nasihat
ke saya?"
Saya tersenyum kecil. Mbak
Maya mencoba mendaratkan
lagi cubitannya. Tapi saya lebih
sigap. Saya tangkap tangan itu,
dan saya amankan dalam
genggaman. Saya mulai berani.
Saya remas tangan Mbak Maya.
Penis saya terasa menegang.
Badan mulai panas dingin.
Mungkinkan malam ini saya dan
Mbak Maya..
"Terus cara pelampiasan Mbak
gimana? Swalayan juga?" Tanya
saya.
Saya taruh sebelah tangan di
atas pahanya. Mbak Maya
mencoba menghindar, tapi tak
jadi.
"Enggak dong. Malu. Risih. Ya
ditahan aja."
"Kapan terakhir Mbak Maya
tidur sama Mas Wib?"
Saya mencium punggung tangan
Mbak Maya. Lalu tangan itu saya
taruh perlahan-lahan di antara
pahaku, sedikit menyentuh
penis.
"Dua minggu lalu."
"Heh?" Saya menatap matanya.
Bener enggak sih. Kok
jawabannya sama dengan saya?
Ngeledek apa gimana nih.
"Bener. " Matanya mengerling
ke bawah, melihat sesuatu di
dekat tangannya yang
kugenggam.
"Mbak.. " Saya menyusun
kekuatan untuk berbicara.
Tenggorokan terasa kering.
Nafsu saya mulai naik.
Perempuan ini bener-bener
seperti merpati. Jangan-jangan
hanya jinak ketika didekati.
Saat dipegang dia kabur.
"Hm ," Mbak Maya menatap
mata saya.
"Mbak pengin?"
Dia tak menjawab. Wajahnya
tertunduk. Saya raih
pundaknya. Saya elus
rambutnya. Saya sentuh pipinya.
Dia diam saja. Sejurus kemudian
mulut kami berpagutan. Lama.
Ciuman yang bergairah. Saya
remas bagian dadanya. Lalu tali
sebelah dasternya saya tarik
dan terlepas. Mbak Maya
merintih ketika jari saya
menyentuh belahan dadanya.
Secara spontan tangan kirinya
yang sejak tadi di pangkuan saya
menggapai apa saja. Dan yang
tertangkap adalah penis. Dia
meremasnya. Saya menggesek-
gesekkan jari saya di dadanya.
Kami kembali berciuman.
"Di kamar aja yuk Mbak?" ajak
saya.
Lalu kami beranjak. Setengah
berjingkat- jingkat menuju
kamar Mbak Maya. Kamar ini
terletak bersebarangan dengan
kamar saya. Di sebelah kamar
Mbak Maya adalah kamar
mertua saya.
Malam itu tumpahlah segalanya.
Kami bermain dengan hebatnya.
Berkali-kali. Ini adalah
perselingkuhan saya yang
pertama sejak saya kawin.
Belakangan saya tahu, itu juga
perselingkuhan pertama Mbak
Maya. Sebelum itu tak terbetik
pikiran untuk selingkuh, apalagi
tidur dengan laki-laki lain selain
Mas Wib.
Bermacam gaya kami lakukan.
Termasuk oral, dan sebuah
sedotan kuat menjelang saya
orgasme. Semprotan mani
menerjang tenggorokan Mbak
Maya. Itulah pertama kali mani
saya diminum perempuan. Yeni
pun tidak pernah. Tidak mau.
Jijik katanya. Menjelang pagi,
saat tulang kami seperti dilolosi,
saya kembali ke kamar. Tidur.
Saya tidak berani
mengulanginya lagi. Perasaan
menyesal tumpah-ruah ketika
saya bertemu istri saya.
Mungkin itu juga yang dirasakan
Mbak Maya. Selepas itu dia
mencoba menghindari
pembicaraan yang menjurus ke
tempat tidur. Kami bersikap
biasa- biasa, seolah tidak pernah
terjadi apa pun.
Ketika tidur di samping istri
saya, saya berjanji dalam hati
Tidak akan selingkuh lagi.
Ternyata janji tinggal janji.
Nafsu besar lebih mengusik
saya. Terutama saat istri saya ke
luar kota dan keinginan
bersetubuh mendesak- desak
dalam diri saya. Rasanya ingin
mengulanginya dengan Mbak
Maya. Tapi tampaknya mustahil.
Mbak Maya benar-benar tidak
memberi kesempatan kepada
saya. Dia tidak lagi mau masuk
kamar saya. Jika ada perlu di
menyuruh Rosi, atau berteriak
di luar kamar, memanggil saya.
Bahkan mulai jarang menginap.
Akhirnya saya kembali ke
sasaran awal saya. Rosi.
Mungkinkah saya menyetubuhi
adik istri saya? Uhh. Mustahil.
Kalau hamil? Beda dengan Mbak
Maya. Kepada dia saya tidak
ragu untuk mengeluarkan benih
saya ke dalam rahimnya.
Kalaupun hamil, tak masalah
kan. Paling-paling kalau anaknya
lahir dan mirip dengan saya yaa
banyak cara untuk menepis
tuduhan. Lagian masak sih pada
curiga?