Jakarta Kota impian semua orang, paling tidak bagi orang sedesaku di
Gumelar, Kabupaten Banyumas, 23 Km ke arah utara Purwokerto, Jawa Tengah. Aku
memang orang desa. Badanku tidak menggambarkan usiaku yang baru menginjak 16
tahun, bongsor berotot dengan kulit sawo gelap. Baru saja aku menamatkan ST
(Sekolah Teknik) Negeri Baturaden, sekitar 5 Km dari Desa Gumelar, atau 17 Km
utara Purwokerto. - Kegiatanku sehari-hari selama ini kalau tidak sekolah, membantu
Bapak dan Emak berkebun. Itulah sebabnya badanku jadi kekar dan kulit gelap.
Kebunku memang tak begitu luas, tapi cukup untuk menopang kehidupan keluarga
kami sehari-hari yang hanya 5 orang. Aku punya 2 orang adik laki-laki semua, 12
dan 10 tahun.
Boleh dikatakan aku ini orangnya ?
kuper?. Anak dari desa kecil yang terdiri dari hanya belasan rumah yang
terletak di kaki Gunung Slamet. Jarak antar rumahpun berjauhan karena diselingi
kebun-kebun, aku jadi jarang bertemu orang. Situasi semacam ini mempengaruhi
kehidupanku kelak. Rendah diri, pendiam dan tak pandai bergaul, apalagi dengan
wanita. Pengetahuanku tentang wanita hampir dapat dikatakan nol, karena
lingkungan bergaulku hanya seputar rumah, kebun, dan sekolah teknik yang
muridnya 100% lelaki.
Pembaca yang budiman, - kisah yang
akan Anda baca ini adalah pengalaman nyata kehidupanku sekitar 9 sampai 6 tahun
lalu. Pengalaman nyata ini aku ceritakan semuanya kepada Mas Joko, kakak
kelasku, satu-satunya orang yang aku percayai yang hobinya memang menulis. Dia
sering menulis untuk majalah dinding, buletin sekolah, koran dan majalah lokal
yang hanya beredar di seputar Purwokerto. Mas Joko kemudian meminta izinku
untuk menulis kisah hidupku ini yang katanya unik dan katanya akan dipasang di
internet. - Aku memberinya izin asalkan nama asliku tidak disebutkan. Jadi
panggil saja aku Tarto, nama samaran tentu saja.
Aku ke Jakarta atas seizin orang
tuaku, bahkan merekalah yang mendorongnya. Pada mulanya aku sebenarnya enggan
meninggalkan keluargaku, tapi ayahku menginginkan aku untuk melanjutkan sekolah
ke STM. Aku lebih suka kerja saja di Purwokerto. Aku menerima usulan ayahku
asalkan sekolah di SMA (sekarang SMU) dan tidak di kampung. Dia memberi alamat
adik misannya yang telah sukses dan tinggal di bilangan Tebet, Jakarta. Ayahku
sangat jarang berhubungan dengan adik misannya itu. Paling hanya beberapa kali
melalui surat, karena telepon belum masuk ke desaku. Kabar terakhir yang aku
dengar dari ayahku, adik misannya itu, sebut saja Oom Ton, punya usaha sendiri
dan sukses, sudah berkeluarga dengan satu anak lelaki umur 4 tahun dan
berkecukupan. Rumahnya lumayan besar. Jadi, dengan berbekal alamat, dua pasang
pakaian, dan uang sekedarnya, aku berangkat ke Jakarta. Satu-satunya petunjuk
yang aku punyai: naik KA pagi dari Purwokerto dan turun di stasiun Manggarai. -
Tebet tak jauh dari stasiun ini.
Stasiun Manggarai, pukul 15.20 siang
aku dicekam kebingungan. Begitu banyak manusia dan kendaraan berlalu lalang,
sangat jauh berbeda dengan suasana desaku yang sepi dan hening. Singkat cerita,
setelah ?berjuang? hampir 3 jam, tanya ke sana kemari, dua kali naik mikrolet
(sekali salah naik), sekali naik ojek yang mahalnya bukan main, sampailah aku
pada sebuah rumah besar dengan taman yang asri yang cocok dengan alamat yang
kubawa.
Berdebar-debar aku masuki pintu
pagar yang sedikit terbuka, ketok pintu dan menunggu. Seorang wanita muda,
berkulit bersih, dan .. ya ampun, menurutku cantik sekali (mungkin di desaku
tidak ada wanita cantik), berdiri di depanku memandang dengan sedikit curiga. Setelah aku jelaskan asal-usulku, wajahnya
berubah cerah. ?Tarto, ya ? Ayo masuk, masuk. Kenalkan, saya Tantemu.? Dengan
gugup aku menyambut tangannya yang terjulur. Tangan itu halus sekali. ?Tadinya
Oom Ton mau jemput ke Manggarai, tapi ada acara mendadak. Tante engga sangka
kamu sudah sebesar ini. Naik apa tadi, nyasar, ya ?? Cecarnya dengan ramah.
?Maaar, bikin minuman!? teriaknya kemudian. Tak berapa lama datang seorang
wanita muda meletakkan minuman ke meja dengan penuh hormat. Wanita ini ternyata
pembantu, aku kira keponakan atau anggota keluarga lainnya, sebab terlalu
?trendy? gaya pakaiannya untuk seorang pembantu.
Sungguh aku tak menduga sambutan
yang begitu ramah. Menurut cerita yang aku dengar, orang Jakarta terkenal
individualis, tidak ramah dengan orang asing, antar tetangga tak saling kenal. Tapi
wanita tadi, isteri Oomku, Tante Yani namanya (?Panggil saja Tante,? katanya
akrab) ramah, cantik lagi. Tentu karena aku sudah dikenalkannya oleh Oom Ton.
Aku diberi kamar sendiri, walaupun
agak di belakang tapi masih di rumah utama, dekat dengan ruang keluarga.
Kamarku ada AC-nya, memang seluruh ruang yang ada di rumah utama ber-AC. Ini
suatu kemewahan bagiku. Dipanku ada kasur yang empuk dan selimut tebal.
Walaupun AC-nya cukup dingin, rasanya aku tak memerlukan selimut tebal itu.
Mungkin aku cukup menggunakan sprei putih tipis yang di lemari itu untuk
selimut. Rumah di desaku cukup dingin karena letaknya di kaki gunung, aku tak
pernah pakai selimut, tidur di dipan kayu hanya beralas tikar. Aku diberi
?kewenangan? untuk mengatur kamarku sendiri.
Aku masih merasa canggung berada di
rumah mewah ini. Petang itu aku tak tahu apa yang musti kukerjakan. Selesai beres-beres
kamar, aku hanya bengong saja di kamar. ?Too, sini, jangan ngumpet aja di
kamar,? Tante memanggilku. Aku ke ruang keluarga. Tante sedang duduk di sofa
nonton TV. ?Sudah lapar, To ?? ?Belum Tante.? Sore tadi aku makan kue-kue yang
disediakan Si Mar. Kita nunggu Oom Ton ya, nanti kita makan malam
bersama-sama.? Oom Ton pulang kantor sekitar jam 19 lewat. ?Selamat malam,
Oom,? sapaku. ?Eh, Ini Tarto ? Udah gede kamu.? ?Iya Oom.? ?Gimana kabarnya Mas
Kardi dan Yu Siti,? Oom menanyakan ayah dan ibuku. ?Baik-baik saja Oom.? Di
meja makan Oom banyak bercerita tentang rencana sekolahku di Jakarta. Aku akan
didaftarkan ke SMA Negeri yang dekat rumah. Aku juga diminta untuk menjaga
rumah sebab Oom kadang-kadang harus ke Bandung atau Surabaya mengurusi
bisnisnya. ?Iya, saya kadang-kadang takut juga engga ada laki-laki di rumah,?
timpal Tante. ?Berapa umurmu sekarang, To ?? ?Dua bulan lagi saya 16 tahun,
Oom.? ?Badanmu engga sesuai umurmu.?
Hari-hari baruku dimulai. Aku
diterima di SMA Negeri 26 Tebet, tak jauh dari rumah Oom dan Tanteku. Ke
sekolah cukup berjalan kaki. Aku memang belum sepenuhnya dapat melepas
kecanggunganku. Bayangkan, orang udik yang kuper tamatan ST (setingkat SLTP)
sekarang sekolah di SMA metropolitan. Kawan sekolah yang biasanya lelaki
melulu, kini banyak teman wanita, dan beberapa diantaranya cantik-cantik.
Cantik ? Ya, sejak aku di Jakarta ini jadi tahu mana wanita yang dianggap
cantik, tentunya menurut ukuranku. Dan tanteku, Tante Yani, isteri Oom Ton
menurutku paling cantik, dibandingkan dengan kawan-kawan sekolahku, dibanding
dengan tante sebelah kiri rumah, atau gadis (mahasiswi ?) tiga rumah ke kanan. Cepat-cepat
kuusir bayangan wajah tanteku yang tiba-tiba muncul. Tak baik membayangkan
wajah tante sendiri. Pada umumnya teman-teman sekolahku baik, walaupun
kadang-kadang mereka memanggilku ?Jawa?, atau meledek cara bicaraku yang mereka
sebut ?medok?. Tak apalah, tapi saya minta mereka panggil saja Tarto. Alasanku,
kalau memanggil ?Jawa?, toh orang Jawa di sekolah itu bukan hanya aku. Mereka
akhirnya mau menerima usulanku. Terus terang aku di kelas menjadi cepat
populer, bukan karena aku pandai bergaul. Dibandingkan teman satu kelas tubuhku
paling tinggi dan paling besar. Bukan sombong, aku juga termasuk murid yang
pintar. Aku memang serius kalau belajar, kegemaranku membaca menunjang
pengetahuanku.
Kegemaranku membaca inilah yang
mendorongku bongkar-bongkar isi rak buku di kamarku di suatu siang pulang
sekolah. Rak buku ini milik Oom Ton. Nah, di antara tumpukan buku, aku
menemukan selembar majalah bergambar, namanya Popular.
Rupanya penemuan majalah inilah
merupakan titik awalku belajar mandiri tentang wanita. Tidak sendiri
sebetulnya, sebab ada ?guru? yang diam-diam membimbingku. Kelak di kemudian
hari aku baru tahu tentang ?guru? itu.
Majalah itu banyak memuat
gambar-gambar wanita yang bagus, maksudnya bagus kualitas fotonya dan modelnya.
Dengan berdebar-debar satu-persatu kutelusuri halaman demi halaman. Ini memang
majalah hiburan khusus pria. Semua model yang nampang di majalah itu pakaiannya
terbuka dan seronok. Ada yang pakai rok demikian pendeknya sehingga hampir
seluruh pahanya terlihat, dan mulus. Ada yang pakai blus rendah dan membungkuk
memperlihatkan bagian belahan buah dada. Dan, ini yang membuat jantungku keras
berdegup : memakai T-shirt yang basah karena disiram, sementara dalamnya tidak
ada apa-apa lagi. Samar-samar bentuk sepasang buah kembar kelihatan. Oh, begini
tho bentuk tubuh wanita. Dasarnya aku sangat jarang ketemu wanita. Kalau
ketemu-pun wanita desa atau embok-embok, dan yang aku lihat hanya bagian wajah.
Bagaimana aku tidak deg-deg-an baru pertama kali melihat gambar tubuh wanita,
walaupun hanya gambar paha dan sebagian atas dada.
Sejak ketemu majalah Popular itu aku
jadi lain jika memandang wanita teman kelasku. Tidak hanya wajahnya yang
kulihat, tapi kaki, paha dan dadanya ?kuteliti?. Si Rika yang selama ini aku
nilai wajahnya lumayan dan putih, kalau ia duduk menyilangkan kakinya ternyata
memiliki paha mulus agak mirip foto di majalah itu. Memang hanya sebagian paha
bawah saja yang kelihatan, tapi cukup membuatku tegang. Ya tegang. ?Adikku?
jadi keras! Sebetulnya penisku menjadi tegang itu sudah biasa setiap pagi. Tapi
ini tegang karena melihat paha mulus Rika adalah pengalaman baru bagiku. Sayangnya
dada Rika tipis-tipis saja. Yang dadanya besar si Ani, demikian menonjol ke
depan. Memang ia sedikit agak gemuk. Aku sering mencuri pandang ke belahan
kemejanya. Dari samping terkadang terbuka sedikit memperlihatkan bagian dadanya
di sebelah kutang. Walau terlihat sedikit cukup membuatku ?ngaceng?. Sayangnya,
kaki Ani tak begitu bagus, agak besar. Aku lalu membayangkan bagaimana bentuk
dada Ani seutuhnya, ah ngaceng lagi! Atau si Yuli. Badannya biasa-biasa saja,
paha dan kaki lumayan berbentuk, dadanya menonjol wajar, tapi aku senang
melihat wajahnya yang manis, apalagi senyumnya. Satu lagi, kalau ia bercerita,
tangannya ikut ?sibuk?. Maksudku kadang mencubit, menepuk, memukul, dan, ini
dia, semua roknya berpotongan agak pendek. Ah, aku sekarang punya ?wawasan? lain
kalau memandang teman-teman cewe.
Ah! Tante Yani! Ya, kenapa selama
ini aku belum ?melihat dengan cara lain?? Mungkin karena ia isteri Oomku, orang
yang aku hormati, yang membiayai hidupku, sekolahku. Mana berani aku ?menggodanya?
meskipun hanya dari cara memandang. Sampai detik ini aku melihat Tante Yani
sebagai : wajahnya putih bersih dan cantik. Tapi dasar setan selalu menggoda
manusia, bagaimana tubuhnya ? Ah, aku jadi pengin cepat-cepat pulang sekolah
untuk ?meneliti? Tanteku. Jangan ah, aku menghormati Tanteku.
Aduh! Kenapa begini ? Apanya yang
begini ? Tante Yani! Seperti biasa, kalau pulang aku masuk dari pintu pagar
langsung ke garasi, lalu masuk dari pintu samping rumah ke ruang keluarga di
tengah-tengah rumah. Melewati ruang keluarga, sedikit ke belakang sampai ke
kamarku. Isi ruang keluarga ini dapat kugambarkan : di tengahnya terhampar
karpet tebal yang empuk yang biasa digunakan tante untuk membaca sambil
rebahan, atau sedang dipijit Si Mar kalau habis senam. Agak di belakang ada
satu set sofa dan pesawat TV di seberangnya. Sewaktu melewati ruang keluarga,
aku menjumpai Tante Yani duduk di kursi dekat TV menyilang kaki sedang
menyulam, berpakaian model kimono. Duduknya persis si Rika tadi pagi, cuma kaki
Tante jauh lebih indah dari Rika. Putih, bersih, panjang, di betis bawahnya
dihiasi bulu-bulu halus ke atas sampai paha. Ya, paha, dengan cara duduk
menyilang, tanpa disadari Tante belahan kimononya tersingkap hingga ke bagian
paha agak atas. Tanpa sengaja pula aku jadi tahu bahwa tante memiliki paha
selain putih bersih juga berbulu lembut. Sejenak aku terpana, dan lagi-lagi
tegang. Untung aku cepat sadar dan untung lagi Tante begitu asyik menyulam
sehingga tidak melihat ulah keponakannya yang dengan kurang ajar ?memeriksa?
pahanya. Ah, kacau.
Sebenarnya tidak sekali ini aku
melihat Tante memakai kimono. Kenapa aku tadi terangsang mungkin karena
?penghayatan? yang lain, gara-gara majalah itu. Selesai makan ada dorongan aku
ingin ke ruang tengah, meneruskan ?penelitianku? tadi. Aku ada alasan lain
tentu saja, nonton TV swasta, hal baru bagiku. Mungkin aku mulai kurang ajar :
mengambil posisi duduk di sofa nonton TV tepat di depan Tante, searah-pandang
kalau mengamati pahanya! ?Gimana sekolahmu tadi To ?? tanya Tante tiba-tiba
yang sempat membuatku kaget sebab sedang memperhatikan bulu-bulu kakinya.
?Biasa-biasa saja Tante.? ?Biasa gimana ? Ada kesulitan engga ?? ?Engga Tante.?
?Udah banyak dapat kawan ?? ?Banyak, kawan sekelas.? ?Kalau kamu pengin main
lihat-lihat kota, silakan aja.? ?Terima kasih, Tante. Saya belum hafal
angkutannya.? ?Harus dicoba, yah nyasar-nyasar dikit engga apa-apa, toh kamu
tahu jalan pulang.? ?Iya Tante, mungkin hari Minggu saya akan coba.? ?Kalau perlu
apa-apa, uang jajan misalnya atau perlu beli apa, ngomong aja sama Tante, engga
usah malu-malu.? Gimana kurang baiknya Tanteku ini, keponakannya saja yang
nakal. Nakal ? Ah ?kan cuma dalam pikiran saja, lagi pula hanya ?meneliti? kaki
yang tanpa sengaja terlihat, apa salahnya. ?Terima kasih Tante, uang yang
kemarin masih ada kok.? ?Emang kamu engga jajan di sekolah ?? Berdesir darahku.
Sambil mengucapkan ?jajan? tadi Tante mengubah posisi kakinya sehingga sekejap,
tak sampai sedetik, sempat terlihat warna merah jambu celana dalamnya! Aku
berusaha keras menenangkan diri. ?Jajan juga sih, hanya minuman dan makanan
kecil.? Akupun ikut-ikutan mengubah posisi, ada sesuatu yang mengganjal di
dalam celanaku. Untung Tante tidak memperhatikan perubahan wajahku. Sepanjang
siang ini aku bukannya nonton TV. Mataku lebih sering ke arah Tante, terutama
bagian bawahnya!
Hari-hari berikutnya tak ada
kejadian istimewa. Rutin saja, sekolah, makan siang, nonton TV, sesekali
melirik kaki Tante. Oom Ton pulang kantor selalu malam hari. Saat ketemu Oomku
hanya pada makan malam, bertiga. Si Luki, anak lelakinya 4 tahun biasanya sudah
tidur. Kalau Luki sudah tidur, Tinah, pengasuhnya pamitan pulang. Pada acara
makan malam ini, sebetulnya aku punya kesempatan untuk menikmati? (cuma dengan
mata) paha mulus berbulu Tante, sebab malam ini ia memakai rok pendek, biasanya
memakai daster Tapi mana berani aku menatap pemandangan indah ini di depan Oom.
Betapa bahagianya mereka menurut pandanganku. Oom tamat sekolahnya, punya usaha
sendiri yang sukses, punya isteri yang cantik, putih, mulus. Anak hanya satu.
Punya sopir, seorang pembantu, Si Mar dan seorang baby sitter Si Tinah. Sopir
dan baby sitter tidak menginap, hanya pembantu yang punya kamar di belakang.
Praktis Tante Yani banyak waktu luang. Anak ada yang mengasuh, pekerjaan rumah
tangga beres ditangan pembantu. Oh ya, ada seorang lagi, pengurus taman biasa
di panggil Mang Karna, sudah agak tua yang datang sewaktu-waktu, tidak tiap
hari.
Keesokkan harinya ada kejadian
?penting? yang perlu kuceritakan. Pagi-pagi ketika aku sedang menyusun
buku-buku yang akan kubawa ke sekolah, ada beberapa lembar halaman yang mungkin
lepasan atau sobekan dari majalah luar negeri terselip di antara buku-buku
pelajaranku. Aku belum sempat mengamati lembaran itu, karena buru-buru mau
berangkat takut telat. Di sekolah pikiranku sempat terganggu ingat sobekan
majalah berbahasa Inggris itu, milik siapa ? Tadi pagi sekilas kulihat ada gambarnya
wanita hanya memakai celana jean tak berbaju. Inilah yang mengganggu pikiranku.
Sempat kubayangkan, bagaimana kalau Ani hanya memakai jean. Kaki dan pahanya
yang kurang bagus tertutup, sementara bulatan dadanya yang besar terlihat
jelas. Ah.. nakal kamu To!
Pulang sekolah tidak seperti biasa
aku tidak langsung ke meja makan, tapi ngumpet di kamarku. Pintu kamar kukunci
dan mulai mengamati sobekan majalah itu. Ada 4 lembar, kebanyakan tulisan yang
tentu saja tidak kubaca. Aku belum paham Bahasa Inggris. Di setiap pojok bawah
lembaran itu tertulis: Penthouse. Langsung saja ke gambar. Gemetaran aku
dibuatnya. Wanita bule, berpose membusungkan dadanya yang besar, putih, mulus,
dan terbuka seluruhnya! Paha dan kakinya meskipun tertutup jean ketat, tapi
punya bentuk yang indah, panjang, persis kaki milik Tante.
Hah, kenapa aku jadi membandingkan
dengan tubuh Tante ? Peduli amat, tapi itulah yang terbayang. Kenapa aku sebut
kejadian penting, karena baru sekaranglah aku tahu bentuk utuh sepasang buah
dada, meskipun hanya dari foto. Bulat, di tengah ada bulatan kecil warna
coklat, dan di tengah-tengah bulatan ada ujungnya yang menonjol keluar. Segera
saja tubuhku berreaksi, penisku tegang, dada berdebar-debar. Halaman berikutnya
membuatku lemas, mungkin belum makan. Masih wanita bule yang tadi tapi sekarang
di close-up. Buah dadanya makin jelas, sampai ke pori-porinya. Ini kesempatanku
untuk ?mempelajari? anatomi buah kembar itu.
Dari atas kulit itu bergerak naik,
sampai puting yang merupakan puncaknya, kemudian turun lagi ?membulat?. Ya,
beginilah bentuk buah dada wanita. Putingnya, apakah selalu menonjol keluar
seperti menunjuk ke depan ? Jawabannya baru tahu kelak kemudian hari ketika aku
?praktek?. Tiba-tiba terlintas pikiran nakal, Tante Yani! Bagaimana ya bentuk
buah dada Tanteku itu ? Ah, kenapa selama ini aku tak memperhatikannya. Asyik
lihat ke bawah terus sih! Memang kesempatannya baru lihat paha. Kimono Tante
waktu itu, kalau tak salah, tertutup sampai dibawah lehernya. Tapi ?kan bisa
lihat bentuk luarnya. Ah, memang mataku tak sampai kesitu. Melihat bentuk paha
dan kaki cewe bule ini mirip milik Tante, aku rasa bentuk dadanyapun tak jauh
berbeda, begitu aku mencoba memperkirakan. Begitu banyak aku berdialog dengan
diri sendiri tentang buah dada.
Begitu banyak pertanyaan yang
bermuara pada pertanyaan inti : Bagaimana bentuk buah dada Tanteku yang cantik
itu ? Untungnya, atau celakanya, pertanyaanku itu segera mendapat jawaban, di
meja makan. Di pertengahan makan siangku, Tante muncul istimewa. Mengenakan
baju-mandi, baju mirip kimono tapi pendek dari bahan seperti handuk tapi lebih
tipis warna putih dan ada pengikat di pinggangnya. Tante kelihatan lain siang
itu, segar, cerah. Kelihatannya baru selesai mandi dan keramas, sebab rambutnya
diikat handuk ke atas mirip ikat kepala para syeh. ?Oh, kamu sudah pulang,
engga kedengaran masuknya,? sapanya ramah sambil berjalan menuju ke tempatku.
?Dari tadi Tante,? jawabku singkat. Ia berhenti, berdiri tak jauh dari dudukku.
Kedua tangannya ke atas membenahi handuk di rambutnya. Posisi tubuh Tante yang
beginilah memberi jawaban atas pertanyaanku tadi. Luar biasa! Besar juga buah
dada Tante ini, persis seperti perkiraanku tadi, bentuknya mirip punya cewe
bule di Penthouse tadi.
Meskipun aku melihatnya masih
?terbungkus? baju-mandi, tapi jelas alurnya, bulat menonjol ke depan. Di bagian
kanan baju mandinya rupanya ada yang basah, ini makin mempertegas bentuk buah
indah itu. Samar-samar aku bisa melihat lingkaran kecil di tengahnya. Sehabis mandi
mungkin hanya baju-mandi itu saja yang membungkus tubuhnya sekarang. Bawahnya
aku tak tahu. Bawahnya! Ya, aku melupakan pahanya. Segera saja mataku turun.
Kini lebih jelas, bulu-bulu lembut di pahanya seperti diatur, berbaris rapi. Ah
aku sekarang lagi tergila-gila buah dada. Pandanganku ke atas lagi. Mudah-mudahan
ia tak melihatku melahap (dengan mata) tubuhnya. Memang ia tidak
memperhatikanku, pandangannya ke arah lain masih terus asyik merapikan
rambutnya. Tapi aku tak bisa berlama-lama begini, disamping takut ketahuan,
lagipula aku ?kan sedang makan. Kuteruskan makanku. Bagaimana reaksi tubuhku,
susah diceritakan. Yang jelas kelaminku tegang luar biasa. Tiba-tiba ia menarik
kursi makan di sebelahku dan duduk. Ah, wangi tubuhnya terhirup olehku. ?Makan
yang banyak, tambah lagi tuh ayamnya.? Bagaimana mau makan banyak, kalau
?diganggu? seperti ini. Aku mengiakan saja. Rupanya ?gangguan nikmat? belum
selesai.
Aku duduk menghadap ke utara. Di
dekatku duduk si Badan-sintal yang habis mandi, menghadap ke timur. Aku bebas
melihat tubuhnya dari samping kiri. Ia menundukkan kepalanya dan mengurai
rambutnya ke depan. Dengan posisi seperti ini, badan agak membungkuk ke depan
dan satu-satunya pengikat baju ada di pinggang, dengan serta merta baju
mandinya terbelah dan menampakkan pemandangan yang bukan main. Buah dada
kirinya dapat kulihat dari samping dengan jelas. Ampun.. putihnya, dan
membulat. Kalau aku menggeser kepalaku agak ke kiri, mungkin aku bisa melihat
putingnya. Tapi ini sih ketahuan banget. Jangan sampai. Betapa tersiksanya aku
siang ini. Tersiksa tapi nikmat! Oh Tuhan, janganlah aku Kau beri siksa yang
begini. Aku khawatir tak sanggup menahan diri. Rasa-rasanya tanganku ingin
menelusup ke belahan baju mandi ini lalu meremas buah putih itu? Kalau itu
terjadi, bisa-bisa aku dipulangkan, dan hilanglah kesempatanku meraih masa
depan yang lebih baik. Apa yang kubilang pada ayahku ? Dapat kupastikan ia
marah besar, dan artinya, kiamat bagiku.
Untung, atau sialnya, Tante cepat
bangkit menuju ke kamar sambil menukas: ?Teruskan ya makannya.? ?Ya Tante,?
sahutku masih gemetaran. Aah., aku menemukan sesuatu lagi. Aku mengamati Tante
berjalan ke kamarnya dari belakang, gerakan pinggulnya indah sekali. Pinggul
yang tak begitu lebar, tapi pantatnya demikian menonjol ke belakang. Tubuh
ideal, memang.
Malamnya aku disuruh makan duluan
sendiri. Tante menunggu Oom yang telat pulang malam ini. Masih terbayang
kejadian siang tadi bagaimana aku menikmati pemandangan dada Tante yang membuat
aku tak begitu selera makan. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh kedatangan Tante
yang muncul dari kamarnya. Masih mengenakan baju-mandi yang tadi, rambutnya
juga masih diikat handuk. Langsung ia duduk disebelahku persis di kursi yang
tadi. Belum habis rasa kagetku, tiba-tiba pula ia pindah dan duduk di
pangkuanku! Bayangkan pembaca, bagaimana nervous-nya aku. Yang jelas penisku
langsung mengeras merasakan tindihan pantat Tante yang padat. Disingkirkannya
piringku, memegang tangan kiriku dan dituntunnya menyelinap ke belahan
baju-mandinya. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Kuremas dadanya
dengan gemas. Hangat, padat dan lembut.
Tantepun menggoyang pantatnya,
terasa enak di kelaminku. Goyangan makin cepat, aku jadi merasa geli di ujung
penisku. Rasa geli makin meningkat dan meningkat, dan .. Aaaaah, aku merasakan
nikmat yang belum pernah kualami, dan eh, ada sesuatu terasa keluar berbarengan
rasa nikmat tadi, seperti pipis dan? aku terbangun. Sialan! Cuma mimpi rupanya.
Masa memimpikan Tante, aku jadi malu sendiri. Kejadian siang tadi begitu
membekas sampai terbawa mimpi. Eh, celanaku basah. Mana mungkin aku ngompol.
Lalu apa dong ? Cepat-cepat aku periksa. Memang aku ngompol! Tapi tunggu dulu,
kok airnya lain, lengket-lengket agak kental. Ah, kenapa pula aku ini ? Apa
yang terjadi denganku ? Besok coba aku tanya pada Oom. Gila apa! Jangan sama
Oom dong. Lalu tanya kepada Tante, tak mungkin juga. Coba ada Mas Joko, kakak
kelasku di ST dulu. Mungkin teman sekolahku ada yang tahu, besok aku tanyakan.
Esoknya aku ceritakan hal itu kepada
Dito teman paling dekat. Sudah barang tentu kisahnya aku modifikasi, bukan
Tante yang duduk di pangkuanku, tapi ?seseorang yang tak kukenal?. ?Kamu baru
mengalami tadi malam ?? ?Ya, tadi malam.? ?Telat banget. Aku sudah mengalami
sewaktu kelas 2 SMP, dua tahun lalu. Itu namanya mimpi basah.? ?Mimpi basah ??
?Ya. Itu tandanya kamu mulai dewasa, sudah aqil-baliq. Lho, emangnya kamu belum
pernah dengar ?? Malu juga aku dibilang telat dan belum tahu mimpi basah. Tapi
juga ada rasa sedikit bangga, aku mulai dewasa! ? Rupanya kamu badan aja yang
gede, pikiran masih anak-anak.? Ah biar saja. Beberapa hari sebelum mimpi basah
itu toh aku sudah ?menghayati? wanita sebagai orang dewasa! ?Kamu punya pacar
?? ?Engga.? ?Atau pernah pacaran ?? ?Engga juga.? ?Pantesan telat kalau begitu.
Waktu kelas 3 SMP aku punya pacar, teman sekelas. Enak deh, sekolah jadi
semangat.? ?Kalau pacaran ngapain aja sih ?? tanyaku lugu. Memang betul aku
belum tahu tentang pacaran. Tentang wanitapun aku baru tahu beberapa hari lalu.
?
Ha.. ha.. ha.! Kampungan lu! Ya
tergantung orangnya. Kalau aku sih paling-paling ciuman, raba-raba, udah. Kalau
si Ricky kelewatan, sampai pacarnya hamil.? Ciuman, raba-raba. Aku pernah lihat
orang ciuman di filem TV, enak juga kelihatannya, belum pernah aku
membayangkan. Kalau meraba, pernah kubayangkan meremas dada Tante. ?Hamil ??
Pelajaran baru nih. ?Ada juga yang sampai ?gitu? tapi engga hamil. Engga tahu
aku caranya gimana.? ?Gitu gimana ?? ?Kamu betul-betul engga tahu ?? Lalu ia
cerita bagaimana hubungan kelamin itu. Dengan bisik-bisik tentunya. Aku jadi
tegang. Pantaslah aku dibilang kampungan, memang betul-betul baru tahu saat
ini.
Kelamin lelaki masuk ke kelamin
wanita, keluar bibit manusia, lalu hamil. Bibit! Mungkin yang keluar dari
kelaminku semalam adalah bibit manusia. Bagaimana mungkin kelaminku sebesar ini
bisa masuk ke lubang pipis wanita ? Sebesar apa lubangnya, dan di mana ? Yang
pernah aku lihat kelamin wanita itu kecil, berbentuk segitiga terbalik dan ada
belahan kecil di ujung bawahnya. Tapi yang kulihat dulu itu di desa adalah
kelamin anak-anak perempuan yang sedang mandi di pancuran. Kelamin wanita
dewasa sama sekali aku belum pernah lihat. Bagaimana bentuknya ya ? Mungkin
segitiganya lebih besar. Ah, pikiranku terlalu jauh. Ciuman saja dulu. Aku
sependapat dengan Dito, kalau pacaran ciuman dan raba-raba saja. Aku jadi ingin
pacaran, tapi siapa yang mau pacaran sama aku yang kuper ini ? Ya dicari dong!
Si Rika, Ani atau Yuli ? Siapa sajalah, asal mau jadi pacarku, buat ciuman dan
diraba-raba. Sepertinya sedap.
Dalam perjalanan pulang aku
membayangkan bagaimana seandainya aku pacaran sama Rika. Pahanya yang lumayan
mulus enak dielus-elus. Tanganku terus ke atas membuka kancing bajunya, lalu
menyelusup dan? sopir Bajaj itu memaki-maki membuyarkan lamunanku. Tanpa sadar
aku berjalan terlalu ke tengah. Di balik kutang Rika hanya ada sedikit
tonjolan, tak ada ?pegangan?, kurang enak ah. Tiba-tiba Rika berubah jadi Ani.
Melamun itu memang enak, bisa kita atur semau kita. Ketika membuka kancing baju
Ani aku mulai tegang. Cerita Dewasa Tante - Kususupkan empat jariku ke
balik kutang Ani. Nah ini, montok, keras walau tak begitu halus. Telapak
tanganku tak cukup buat ?menampung? dada Ani. Aku berhenti, menunggu lampu
penyeberangan menyala hijau. Sampai di seberang jalan kusambung khayalanku. Ani
telah berubah menjadi Yuli. Anak ini memang manis, apalagi kalau tersenyum,
bibirnya indah, setidaknya menurutku. Aku mulai mendekatkan mulutku ke bibir
Yuli yang kemudian membuka mulutnya sedikit, persis seperti di film TV kemarin.
Kamipun berciuman lama. Kancing baju seragam Yulipun mulai kulepas, dua kancing
dari atas saja cukup. Kubayangkan, meski dari luar dada Yuli menonjol biasa,
tak kecil dan tak besar, ternyata dadanya besar juga. Kuremas-remas sepuasnya
sampai tiba di depan rumah.
Aku kembali ke dunia nyata. Masuk
melalui pintu garasi seperti biasa, membuka pintu tengah sampai ke ruang
keluarga. Juga seperti biasa kalau mendapati Tante sedang membaca majalah
sambil rebahan di karpet, atau menyulam, atau sekedar nonton TV di ruang
keluarga. Yang tidak biasa adalah, kedua bukit kembar itu. Tante membaca sambil
tengkurap menghadap pintu yang sedang kumasuki. Posisi punggungnya tetap tegak
dengan bertumpu pada siku tangannya. Mengenakan daster dengan potongan dada
rendah, rendah sekali. Inipun tak biasa, atau karena aku jarang memperhatikan
bagian atas. Tak ayal lagi, kedua bukit putih itu hampir seluruhnya tampak.
Belahannya jelas, sampai urat-urat lembut agak kehijauan di kedua buah dada itu
samar-samar nampak. Aku tak melewatkan kesempatan emas ini. Tante melihat
sebentar ke arahku, senyum sekejap, terus membaca lagi. Akupun berjalan amat
perlahan sambil mataku tak lepas dari pemandangan amat indah ini?
Hampir lengkap aku ?mempelajari?
tubuh Tanteku ini. Wajah dan ?komponen?nya mata, alis, hidung, pipi, bibir,
semuanya indah yang menghasilkan : cantik. Walaupun dilihat sekejap, apalagi
berlama-lama. Paha dan kaki, panjang, semuanya putih, mulus, berbulu halus.
Pinggul, meski baru lihat dari bentuknya saja, tak begitu lebar, proporsional,
dengan pantat yang menonjol bulat ke belakang. Pinggang, begitu sempit dan perut
yang rata. Ini juga hanya dari luar. Dan yang terakhir buah dada. Hanya puting
ke bawah saja yang belum aku lihat langsung. Kalau daerah pinggul, bagian
depannya saja yang aku belum bisa membayangkan. Memang aku belum pernah
membayangkan, apalagi melihat kelamin wanita dewasa. Aku masih penasaran pada
yang satu ini.
Keesokkan harinya, siang-siang, Dito
memberiku sampul warna coklat agak besar, secara sembunyi-sembunyi.
“Nih, buat kamu”
“Apa nih ?”
“Simpan aja dulu, lihatnya di rumah,
Hati-hati” Aku makin penasaran. “Lanjutan pelajaranku kemarin. Gambar-gambar
asyik” bisiknya.
Sampai di rumah aku berniat langsung
masuk kamar untuk memeriksa benda pemberian Dito. Tante lagi membaca di karpet,
kali ini terlentang, mengenakan daster dengan kancing di tengah membelah
badannya dari atas ke bawah. Kancingnya yang terbawah lepas sebuah yang
mengakibatkan sebagian pahanya tampak, putih. “Suguhan” yang nikmat sebenarnya,
tapi kunikmati hanya sebentar saja, pikiranku sedang tertuju ke sampul coklat.
Dengan tak sabaran kubuka sampul itu, sesudah mengunci pintu kamar, tentunya.
Wow, gambar wanita bule telanjang bulat!
Sepertinya ini lembaran tengah suatu
majalah, sebab gambarnya memenuhi dua halaman penuh. Wanita bule berrambut
coklat berbaring terlentang di tempat tidur. Segera saja aku mengeras. Buah
dadanya besar bulat, putingnya lagi-lagi menonjol ke atas warna coklat muda.
Perutnya halus, dan ini dia, kelaminnya! Sungguh beda jauh dengan apa yang
selama ini kuketahui. Aku tak menemukan “segitiga terbalik” itu. Di bawah perut
itu ada rambut-rambut halus keriting. Ke bawah lagi, lho apa ini ? Sebelah kaki
cewe itu dilipat sehingga lututnya ke atas dan sebelahnya lagi menjuntai di pinggir
ranjang memperlihatkan selangkangannya. Inilah rupanya lubang itu. Bentuknya
begitu “rumit”.
Ada daging berlipat di kanan
kirinya, ada tonjolan kecil di ujung atasnya, lubangnya di tengah terbuka
sedikit. Mungkin di sinilah tempat masuknya kelamin lelaki. Tapi, mana cukup ?
Oo, seperti inilah rupanya wujud kelamin wanita dewasa. Tiba-tiba pikiran
nakalku kambuh : begini jugakah punya Tante? Pertanyaan yang jelas-jelas tak
mungkin mendapatkan jawaban! Bagaimana dengan punya Rika, Ani, atau Yuli? Sama
susahnya untuk mendapatkan jawaban. Lupakan saja. Tunggu dulu, barangkali Si
Mar pembantu itu bisa memberikan “jawaban”. Orangnya penurut, paling tidak dia
selalu patuh pada perintah majikannya, termasuk aku. Bahkan dulu itu tanpa aku
minta membantuku beres-beres kamarku, dengan senang pula. Orangnya lincah dan
ramah.
Tidak terlalu jelek, tapi bersih.
Kalau sudah dandan sore hari ngobrol dengan pembantu sebelah, orang tak
menyangka kalau ia pembantu. Dulu waktu pertama kali ketemupun aku tak mengira
bahwa ia pembantu. Setiap pagi ia menyapu dan mengepel seluruh lantai, termasuk
lantai kamarku. Kadang-kadang aku sempat memperhatikan pahanya yang tersingkap
sewaktu ngepel, bersih juga. Yang jelas ia periang dan sedikit genit. Tapi masa
kusuruh ia membuka celana dalamnya “Coba Mar aku pengin lihat punyamu, sama
engga dengan yang di majalah” Gila!. Jangan langsung begitu, pacari saja dulu.
Ah, pacaran kok sama pembantu. Apa salahnya? dari pada tidak pacaran sama
sekali. Okey, tapi bagaimana ya cara memulainya ? Ah, dasar kuper!
Aku jadi lebih memperhatikan Si Mar.
Mungkin ia setahun atau dua tahun lebih tua dariku, sekitar 18 lah. Wajahnya
biasa-biasa saja, bersih dan selalu cerah, kulit agak kuning, dadanya tak
begitu besar, tapi sudah berbentuk. Paha dan kaki bersih. Mulai hari ini aku
bertekat untuk mulai menggoda Si Mar, tapi harus hati-hati, jangan sampai
ketahuan oleh siapapun. Seperti hari-hari lainnya ia membersihkan kamarku
ketika aku sedang sarapan. Pagi ini aku sengaja menunda makan pagiku menunggu
Si Mar. Tante masih ada di kamarnya. Si Mar masuk tapi mau keluar lagi ketika
melihat aku ada di dalam kamar.
“Masuk aja mbak, engga apa-apa” kataku sambil
pura-pura sibuk membenahi buku-buku sekolah. Masuklah dia dan mulai
bersih-bersih. Tanganku terus sibuk berbenah sementara mataku melihatnya terus.
Sepasang pahanya nampak, sudah biasa sih lihat pahanya, tapi kali ini lain.
Sebab aku membayangkan apa yang ada di ujung atas paha itu. Aku mengeras.
Sekilas tampak belahan dadanya waktu ia membungkuk-bungkuk mengikuti irama
ngepel. Tiba-tiba ia melihatku, mungkin merasa aku perhatikan terus.
“Kenapa, Mas” Kaget aku.
“Ah, engga. Apa mbak engga cape tiap
hari ngepel”
“Mula-mula sih capek, lama-lama
biasa, memang udah kerjaannya” jawabnya cerah.
“Udah berapa lama mbak kerja di sini
?”
“Udah dari kecil saya di sini, udah
5 tahun”
“Betah ?”
“Betah dong, Ibu baik sekali, engga
pernah marah. Mas dari mana sih asalnya ?”Tanyanya tiba-tiba. Kujelaskan
asal-usulku.
“Oo, engga jauh dong dari desaku.
Saya dari Cilacap”
Pekerjaannya selesai. Ketika hendak
keluar kamar aku mengucapkan terima kasih.
“Tumben.” Katanya sambil tertawa
kecil. Ya, tumben biasanya aku tak bilang apa-apa.
***
“Mana, yang kemarin ?” Dito meminta
gambar cewe itu.
“Lho, katanya buat aku”
“Jangan dong, itu aku koleksi.
Kembaliin dulu entar aku pinjamin yang lain, lebih serem!”
“Besok deh, kubawa”
Sampai di rumah Si Luki sedang
main-main di taman sama pengasuhnya. Sebentar aku ikut bermain dengan anak
Oomku itu. Tinah sedikit lebih putih dibanding Si Mar, tapi jangan dibandingkan
dengan Tante, jauh. Orangnya pendiam, kurang menarik. Cerita Dewasa Tante
- Dadanya biasa saja, pinggulnya yang besar. Tapi aku tak menolak seandainya ia
mau memperlihatkan miliknya. Pokoknya milik siapa saja deh, Rika, Ani, Yuli,
Mar, atau Tinah asal itu kelamin wanita dewasa. Penasaran aku pada “barang”
yang satu itu. Apalagi milik Tante, benar-benar suatu karunia kalau aku
“berhasil” melihatnya! Di dalam ada Si Mar yang sedang nonton telenovela buatan
Brazil itu. Aku kurang suka, walaupun pemainnya cantik-cantik. Ceritanya
berbelit. Duduk di karpet sembarangan, lagi-lagi pahanya nampak. Rasanya si Mar
ini makin menarik.
“Mau makan sekarang, Mas ?”
“Entar aja lah”
“Nanti bilang, ya. Biar saya siapin”
“Tante mana mbak?”
“Kan senam” Oh ya, ini hari Rabu,
jadwal senamnya. Seminggu Tante senam tiga kali, Senin, Rabu dan Jumat. Ketika
aku selesai ganti pakaian, aku ke ruang keluarga, maksudku mau mengamati Si Mar
lebih jelas. Tapi Si Mar cepat-cepat ke dapur menyiapkan makan siangku. Biar
sajalah, toh masih banyak kesempatan. Kenapa tidak ke dapur saja pura-pura
bantu ? Akupun ke dapur.
“Masak apa hari ini ?” Aku
berbasa-basi.
“Ada ayam panggang, oseng-oseng
tahu, sayur lodeh, pilih aja”
“Aku mau semua” Candaku. Dia tertawa
renyah. Lumayan buat kata pembukaan.
“Sini aku bantu”
“Ah, engga usah” Tapi ia tak
melarang ketika aku membantunya. Ih, pantatnya menonjol ke belakang walau
pinggulnya tak besar. Aku ngaceng. Kudekati dia. Ingin rasanya meremas pantat
itu. Beberapa kali kusengaja menyentuh badannya, seolah-olah tak sengaja. ‘Kan
lagi membantu dia. Dapat juga kesempatan tanganku menyentuh pantatnya, kayaknya
sih padat, aku tak yakin, cuma nyenggol sih. Mar tak berreaksi. Akhirnya aku
tak tahan, kuremas pantatnya. Kaget ia menolehku.
“Iih, Mas To genit, ah” katanya,
tapi tidak memprotes.
“Habis, badanmu bagus sih”. Sekarang
aku yakin, pantatnya memang padat.
“Ah, biasa saja kok”
Akupun berlanjut, kutempelkan badan
depanku ke pantatnya. Barangku yang sudah mengeras terasa menghimpit pantatnya
yang padat, walaupun terlapisi sekian lembar kain. Aku yakin iapun merasakan
kerasnya punyaku. Berlanjut lagi, kedua tanganku kedepan ingin memeluk
perutnya. Tapi ditepisnya tanganku.
“Ih, nakal. Udah ah, makan dulu
sana!”
“Iya deh makan dulu, habis makan
terus gimana ?”
“Yeee!” sahutnya mencibir tapi tak
marah. Tangannya berberes lagi setelah tadi berhenti sejenak kuganggu. Walaupun
penasaran karena aksiku terpotong, tapi aku mendapat sinyal bahwa Si Mar tak
menolak kuganggu. Hanya tingkat mau-nya sampai seberapa jauh, harus kubuktikan
dengan aksi-aksi selanjutnya!
Kembali aku menunda sarapanku untuk
“aksi selanjutnya” yang telah kukhayalkan tadi malam. Ketika ia sedang menyapu
di kamarku, kupeluk ia dari belakang. Sapunya jatuh, sejenak ia tak berreaksi.
Amboi ..dadanya berisi juga! Jelas aku merasakannya di tanganku, bulat-bulat
padat. Kemudian Si Marpun meronta.
“Ah, Mas, jangan!” protesnya pelan
sambil melirik ke pintu. Aku melepaskannya, khawatir kalau ia berteriak. Sabar
dulu, masih banyak kesempatan.
“Terima kasih” kataku waktu ia
melangkah keluar kamar. Ia hanya mencibir memoncongkan mulutnya lucu. Mukanya
tetap cerah, tak marah. Sekarang aku selangkah lebih maju!
Aku ingat janjiku hari ini untuk
mengembalikan foto porno milik Dito. Tapi di mana foto itu ? Jangan-jangan ada
yang mengambilnya. Aku yakin betul kemarin aku selipkan di antara buku Fisika
dan Stereometri (kedua buku itu memang lebar, bisa menutupi). Nah ini dia ada
di dalam buku Gambar. Pasti ada seseorang yang memindahkannya. Logikanya,
sebelum orang itu memindahkan, tentu ia sempat melihatnya. Tiba-tiba aku cemas.
Siapa ya ? Si Mar, Tinah, atau Tante ? Atau lebih buruk lagi, Oom Ton ? Aku
jadi memikirkannya. Siapapun orang rumah yang melihat foto itu, membuatku malu
sekali! Yang penting, aku harus kembalikan ke Dito sekarang.
Siangnya pulang sekolah ketika aku
masuk ke ruang keluarga, Si Mar sedang memijit punggung Tante. Tante tengkurap
di karpet, Si Mar menaiki pantat Tante. Punggung Tante itu terbuka 100 %, tak
ada tali kutang di sana. Putihnya mak..! Si Mar cepat-cepat menutup punggung
itu ketika tahu mataku menjelajah ke sana, sambil melihatku dengan senyum penuh
arti. Sialan! Si Mar tahu persis kenakalanku. Aku masuk kamar. Hilang
kesempatan menikmati punggung putih itu. Tadi pagi aku lupa membawa buku Gambar
gara-gara mengurus foto si Dito. Aku berniat mempersiapkan dari sekarang sambil
berusaha melupakan punggung putih itu. Sesuatu jatuh bertebaran ke lantai
ketika aku mengambil buku Gambar. Seketika dadaku berdebar kencang setelah tahu
apa yang jatuh tadi. Lepasan dari majalah asing. Di tiap pojok bawahnya
tertulis “Hustler” edisi tahun lalu. Satu serial foto sepasang bule yang sedang
berhubungan kelamin! Ada tiga gambar, gambar pertama Si Cewe terlentang di
ranjang membuka kakinya sementara Si Cowo berdiri di atas lututnya memegang
alatnya yang tegang besar (mirip punyaku kalau lagi tegang cuma beda warna,
punyaku gelap) menempelkan kepala penisnya ke kelamin Cewenya. Menurutku, dia
menempelnya kok agak ke bawah, di bawah “segitiga terbalik” yang penuh
ditumbuhi rambut halus pirang.
Gambar kedua, posisi Si Cewe masih
sama hanya kedua tangannya memegang bahu si Cowo yang kini condong ke depan.
Nampak jelas separoh batangnya kini terbenam di selangkangan Si Cewe. Lho, kok
di situ masuknya ? Kuperhatikan lebih saksama. Kayaknya dia “masuk” dengan
benar, karena di samping jalan masuk tadi ada “yang berlipat-lipat”, persis
gambar milik Dito kemarin. Menurut bayanganku selama ini, “seharusnya” masuknya
penis agak lebih ke atas. Baru tahu aku, khayalanku selama ini ternyata salah!
Gambar ketiga, kedua kaki Si Cewe diangkat mengikat punggung Si Cowo. Badan
mereka lengket berimpit dan tentu saja alat Si Cowo sudah seluruhnya tenggelam
di “tempat yang layak” kecuali sepasang “telornya” saja menunggu di luar.
Mulut lelaki itu menggigit leher
wanitanya, sementara telapak tangannya menekan buah dada, ibujari dan telunjuk
menjepit putting susunya. Gemetaran aku mengamati gambar-gambar ini bergantian.
Tanpa sadar aku membuka resleting celanaku mengeluarkan milikku yang dari tadi
telah tegang. Kubayangkan punyaku ini separoh tenggelam di tempat si Mar persis
gambar kedua. Kenyataanya memang sekarang sudah separoh terbenam, tapi di dalam
tangan kiriku. Akupun meniru gambar ketiga, tenggelam seluruhnya, gambar kedua,
setengah, ketiga, seluruhnya..geli-geli nikmat… terus kugosok… makin geli..
gosok lagi.. semakin geli… dan.. aku terbang di awan.. aku melepas sesuatu…
hah.. cairan itu menyebar ke sprei bahkan sampai bantal, putih, kental,
lengket-lengket. Enak, sedap seperti waktu mimpi basah. Sadar aku sekarang ada
di kasur lagi, beberapa detik yang lalu aku masih melayang-layang. He! Kenapa
aku ini? Apa yang kulakukan ? Aku panik. Berbenah. Lap sini lap sana. Kacau!
Kurapikan lagi celanaku, sementara si Dia masih tegang dan berdenyut, masih ada
yang menetes. Aku menyesal, ada rasa bersalah, rasa berdosa atas apa yang baru
saja kulakukan. Aku tercenung. Gambar-gambar sialan itu yang menyebabkan aku
begini. Masturbasi. Istilah aneh itu baru aku ketahui dari temanku beberapa
hari sesudahnya. Si Dito menyebutnya ‘ngeloco’. Aneh. Ada sesuatu yang lain
kurasakan, keteganganku lenyap. Pikiran jadi cerah meski badan agak lemas..
Sehari itu aku jadi tak bersemangat,
ingat perbuatanku siang tadi. Rasanya aku telah berbuat dosa. Aku menyalahkan
diriku sendiri. Bukan salahku seluruhnya, aku coba membela diri. Gambar-gambar
itu juga punya dosa. Tepatnya, pemilik gambar itu. Eh, siapa yang punya ya ?
Tahu-tahu ada di balik buku-bukuku. Siapa yang menaruh di situ ? Ah, peduli
amat. Akan kumusnahkan. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi, tidak akan
masturbasi lagi. Perasaan seperti ini masih terbawa sampai keesokkan harinya
lagi. Sehingga kulewatkan kesempatan untuk meraba dada Mar seperti kemarin. Ia
telah memberi lampu hijau untuk aku “tindaklanjuti”. Tapi aku lagi tak
bersemangat. Masih ada rasa bersalah.
Hari berikutnya aku “harus” tegang
lagi. Bukan karena Si Mar yang (menurutku) bersedia dijamah tubuhnya. Tapi
lagi-lagi karena Si Putih molek itu, Tante Yani. Siang itu aku pulang agak
awal, pelajaran terakhir bebas. Sebentar aku melayani Luki melempar-lempar bola
di halaman, lalu masuk lewat garasi, seperti biasa. Hampir pingsan aku ketika
membuka pintu menuju ruang keluarga. Tante berbaring terlentang, mukanya
tertutupi majalah “Femina”, terdengar dengkur sangat halus dan teratur. Rupanya
ketiduran sehabis membaca. Mengenakan baju-mandi seperti dulu tapi ini warna
pink muda, rambut masih terbebat handuk. Agaknya habis keramas, membaca terus
ketiduran. Model baju mandinya seperti yang warna putih itu, belah di depan dan
hanya satu pengikat di pinggang. Jelas ia tak memakai kutang, kelihatan dari
bentuk buah dadanya yang menjulang dan bulat, serta belahan dadanya seluruhnya
terlihat sampai ke bulatan bawah buah itu. Sepasang buah bulat itu naik-turun
mengikuti irama dengkurannya. Berikut inilah yang membuatku hampir pingsan.
Kaki kirinya tertekuk, lututnya ke atas, sehingga belahan bawah baju-mandi itu
terbuang ke samping, memberiku “pelajaran” baru tentang tubuh wanita, khususnya
milik Tante. Tak ada celana dalam di sana.
Tanteku ternyata punya bulu lebat.
Tumbuh menyelimuti hampir seluruh “segitiga terbalik”. Berwarna hitam legam,
halus dan mengkilat, tebal di tengah menipis di pinggir-pinggirnya. “Arah”
tumbuhnya seolah diatur, dari tengah ke arah pinggir sedikit ke bawah kanan dan
kiri.
Berbeda dengan yang di gambar,
rambut Tante yang di sini lurus, tak keriting. Wow, sungguh “karya seni” yang
indah sekali! Kelaminku tegang luar biasa. Aku lihat sekeliling. Si Tinah
sedang bermain dengan anak asuhnya di halaman depan. Si Mar di belakang,
mungkin sedang menyetrika. Kalau Tante sedang di ruang ini, biasanya Si Mar
tidak kesini, kecuali kalau diminta Tante memijit. Aman!
Dengan wajah tertutup majalah aku
jadi bebas meneliti kewanitaan Tante, kecuali kalau ia tiba-tiba terbangun.
Tapi aku ‘kan waspada. Hampir tak bersuara kudekati milik Tante. Kini giliran
bagian bawah rambut indah itu yang kecermati. Ada “daging berlipat”, ada
benjolan kecil warna pink, tampaknya lebih menonjol dibanding milik bule itu.
Dan di bawah benjolan itu ada “pintu”. Pintu itu demikian kecil, cukupkah
punyaku masuk ke dalamnya ? Punyaku ? Enak saja! Memangnya lubang itu milikmu ?
Bisa saja sekarang aku melepas celanaku, mengarahkan ujungnya ke situ, persis
gambar pertama, mendorong, seperti gambar kedua, dan …Tiba-tiba Tante
menggerakkan tangannya. Terbang semangatku. Kalau ada cermin di situ pasti aku
bisa melihat wajahku yang pucat pasi. Dengkuran halus terdengar kembali.
Untung., nyenyak benar tidurnya. Bagian atas baju-mandinya menjadi lebih terbuka
karena gerakan tangannya tadi. Meski perasaanku tak karuan, tegang, berdebar,
nafas sesak, tapi pikiranku masih waras untuk tidak membuka resleting celanaku.
Bisa berantakan masa depanku. Aku
“mencatat” beberapa perbedaan antara milik Tante dengan milik bule yang di
majalah itu. Rambut, milik Tante hitam lurus, milik bule coklat keriting.
Benjolan kecil, milik Tante lebih “panjang”, warna sama-sama pink. Pintu, milik
Tante lebih kecil. Lengkaplah sudah aku mempelajari tubuh wanita. Utuhlah sudah
aku mengamati seluruh tubuh Tante. Seluruhnya ? Ternyata tidak, yang belum
pernah aku lihat sama sekali : puting susunya. Kenapa tidak sekarang ?
Kesempatan terbuka di depan mata, lho! Mataku beralih ke atas, ke bukit yang
bergerak naik-turun teratur. Dada kanannya makin lebar terbuka, ada garis tipis
warna coklat muda di ujung kain. Itu adalah lingkaran kecil di tengah buah,
hanya pinggirnya saja yang tampak. Aku merendahkan kepalaku mengintip, tetap
saja putingnya tak kelihatan. Ya, hanya dengan sedikit menggeser tepi baju
mandi itu ke samping, lengkaplah sudah “kurikulum” pelajaran anatomi tubuh
Tante. Dengan amat sangat hati-hati tanganku menjangkau tepi kain itu.
Mendadak aku ragu. Kalau Tante
terbangun bagaimana ? Kuurungkan niatku. Tapi pelajaran tak selesai dong! Ayo,
jangan bimbang, toh dia sedang tidur nyenyak. Ya, dengkurannya yang teratur
menandakan ia tidur nyenyak. Kembali kuangkat tanganku. Kuusahakan jangan
sampai kulitnya tersentuh. Kuangkat pelan tepi kain itu, dan sedikit demi
sedikit kugeser ke samping. Macet, ada yang nyangkut rupanya. Angkat sedikit
lagi, geser lagi. Kutunggu reaksinya. Masih mendengkur. Aman. Terbukalah
sudah.. Puting itu berwarna merah jambu bersih. Berdiri tegak menjulang, bak mercusuar
mini. Amboi . indahnya buah dada ini. Tak tahan aku ingin meremasnya. Jangan,
bahaya. Aku harus cepat-cepat pergi dari sini. Bukan saja khawatir Tante
terbangun, tapi takut aku tak mampu menahan diri, menubruk tubuh indah tergolek
hampir telanjang bulat ini.
Aku jadi tak tenang. Berulang kali
terbayang rambut-rambut halus kelamin dan puting merah jambu milik Tante itu.
Apalagi menjelang tidur. Tanpa sadar aku mengusap-usap milikku yang tegang
terus ini. Tapi aku segera ingat janjiku untuk tidak masturbasi lagi. -
Mendingan praktek langsung. Tapi dengan siapa ?
Hari ini aku pulang cepat. Masih ada
dua mata pelajaran sebetulnya, aku membolos, sekali-kali. Toh banyak juga
kawanku yang begitu. Percuma di kelas aku tak bisa berkonsentrasi. Di garasi
aku ketemu Tante yang siap-siap mau pergi senam. Dibalut baju senam yang ketat
ini Tante jadi istimewa. Tubuhnya memang luar biasa. Dadanya membusung tegak ke
depan, bagian pinggang menyempit ramping, ke bawah lagi melebar dengan pantat
menonjol bulat ke belakang, ke bawah menyempit lagi. Sepasang paha yang nyaris
bulat seperti batang pohon pinang, sepasang kaki yang panjang ramping. Walaupun
tertutup rapat aku ngaceng juga. Lagi-lagi aku terrangsang. Diam-diam aku bangga,
sebab di balik pakaian senam itu aku pernah melihatnya, hampir seluruhnya!
Justru bagian tubuh yang penting-penting sudah seluruhnya kulihat tanpa ia
tahu! Salah sendiri, teledor sih. Ah, salahku juga, buktinya kemarin aku
menyingkap putingnya.
“Lho, kok udah pulang, To” sapanya
ramah. Ah bibir itu juga menggoda.
“Iya Tante, ada pelajaran bebas”
jawabku berbohong. Kubukakan pintu mobilnya. Sekilas terlihat belahan dadanya
ketika ia memasuki mobil. Uih, dadanya serasa mau “meledak” karena ketatnya
baju itu.
“Terima kasih” katanya. “Tante pergi
dulu ya”. Mobilnya hilang dari pandanganku.
Selasai mandi hari sudah hampir
gelap. Di ruang keluarga Tante sedang duduk di sofa nonton TV sendiri.
“Senamnya di mana Tante ?” Aku coba
membuka percakapan. Aku memberanikan diri duduk di sofa yang sama sebelah
kanannya.
“Dekat, di Tebet Timur Dalam”. Malam
ini Tante mengenakan daster pendek tak berlengan, ada kancing-kancing di
tengahnya, dari atas ke bawah.
“Tumben, kamu tidur siang”
“Iya Tante, tadi main voli di situ”
jawabku tangkas.
“Kamu suka main voli ?”
“Di Kampung saya sering olah-raga
Tante” Aku mulai berani memandangnya langsung, dari dekat lagi. Ih, bahu dan
lengan atasnya putih banget!
“Pantesan badanmu bagus” Senang juga
aku dipuji Tanteku yang rupawan ini.
“Ah, Kalau ini mungkin saya dari
kecil kerja keras di kebun, Tante” Wow, buah putih itu mengintip di antara
kancing pertama dan kedua di tengah dasternya. Ada yang bergerak di celanaku.
“Kerja apa di kebun ?”
“Mengolah tanah, menanam, memupuk,
panen” Buah dada itu rasanya mau meledak keluar.
“Apa saja yang kamu tanam ?”
tanyanya lagi sambil mengubah posisi duduknya, menyilangkan sebelah kakinya.
Kancing terakhir daster itu sudah
terlepas. Waktu sebelah pahanya menaiki pahanya yang lain, ujung kain daster
itu tidak “ikut”, jadi 70 % paha Tante tersuguh di depan mataku. Putih licin.
Yang tadi bergerak di celanaku, berangsur membesar.
“Macam-macam tergantung musimnya,
Tante. Kentang, jagung, tomat” Hampir saja aku ketahuan mataku memelototi
pahanya.
“Kalau kamu mau makan, duluan aja”
“Nanti aja Tante, nunggu Oom” Aku
memang belum lapar. Adikku mungkin yang “lapar”
“Oom tadi nelepon ada acara makan
malam sama tamu dari Singapur, pulangnya malam”
“Saya belum lapar” jawabku supaya
aku tidak kehilangan momen yang bagus ini.
“Kamu betah di sini ?” Ia membungkuk
memijit-mijit kakinya. Betisnya itu…
“Kerasan sekali, Tante. Cuman saya
banyak waktu luang Tante, biasa kerja di kampung, sih. Kalau ada yang bisa saya
bantu Tante, saya siap”
“Ya, kamu biasakan dulu di sini,
nanti Tante kasih tugas”
“Kenapa kakinya Tante ?” Sekedar ada
alasan buat menikmati betisnya.
“Pegel, tadi senamnya habis-habisan”
Di antara kancing daster yang satu
dengan kancing lainnya terdapat “celah”. Ada yang sempit, ada yang lebar, ada
yang tertutup. Celah pertama, lebar karena busungan dadanya, menyuguhkan bagian
kanan atas buah dada kiri. Celah kedua memperlihatkan kutang bagian bawah.
Celah ketiga rapat, celah keempat tak begitu lebar, ada perutnya. Celah
berikutnya walaupun sempit tapi cukup membuatku tahu kalau celana dalam Tante
warna merah jambu. Ke bawah lagi ada sedikit paha atas dan terakhir, ya yang
kancingnya lepas tadi.
“Mau bantu Tante sekarang ?”
“Kapan saja saya siap”
“Betul ?”
“Kewajiban saya, Tante. Masa numpang
di sini engga kerja apa-apa”
“Pijit kaki Tante, mau ?”
Hah ? Aku tak menyangka diberi tugas
mendebarkan ini
“Biasanya sama Si Mar, tapi dia lagi
engga ada”
“Tapi saya engga bisa mijit Tante,
cuma sekali saya pernah mijit kaki teman yang keseleo karena main bola” Aku
berharap ia jangan membatalkan perintahnya.
“Engga apa-apa. Tante ambil bantal
dulu” Goyang pinggulnya itu…
Sekarang ia tengkurap di karpet.
Hatiku bersorak. Aku mulai dari pergelangan kaki kirinya. Aah, halusnya kulit
itu. Hampir seluruh tubuh Tante pernah kulihat, tapi baru inilah aku merasakan
mulus kulitnya. Mataku ke betis lainnya mengamati bulu-bulu halus.
“Begini Tante, kurang keras engga ?”
“Cukup segitu aja, enak kok”
Tangan memijit, mata jelalatan.
Lekukan pantat itu bulat menjulang, sampai di pinggang turun menukik, di
punggung mendaki lagi. Indah. Kakinya sedikit membuka, memungkinkan mataku
menerobos ke celah pahanya. Tanganku pindah ke betis kanannya aku menggeser
dudukku ke tengah, dan..terobosan mataku ke celah paha sampai ke celana dalam
merah jambu itu. Huuuh, sekarang aku betul-betul keras.
“Aah” teriaknya pelan ketika
tanganku menjamah ke belakang lututnya.
“Maaf Tante”
“Engga apa-apa. Jangan di situ,
sakit. Ke atas saja”
Ke Atas ? Berarti ke pahanya ? Apa
tidak salah nih ? Jelas kok, perintahnya. Akupun ke paha belakangnya.
Ampuuun, halusnya paha itu. Kulit
Tante memang istimewa. Kalau ada lalat hinggap di paha itu, mungkin tergelincir
karena licin!
Aku mulai tak tenang. Nafas mulai
tersengal, entah karena mijit atau terangsang, atau keduanya. Aku tak hanya
memijit, terkadang mengelusnya, habis tak tahan. Tapi Tante diam saja.
Kedua paha yang diluar, yang tak
tertutup daster selesai kupijit. Entah karena aku sudah “tinggi” atau aku mulai
nakal, tanganku terus ke atas menerobos dasternya.
“Eeeh” desahnya pelan. Hanya
mendesah, tidak protes!
Kedua tanganku ada di paha kirinya
terus memijit. Kenyal, padat. Tepi dasternya dengan sendirinya terangkat karena
gerakan pijitanku. Kini seluruh paha kirinya terbuka gamblang, bahkan sebagian
pantatnya yang melambung itu tampak. Pindah ke paha kanan aku tak ragu-ragu
lagi menyingkap dasternya.
“Enak To, kamu pintar juga memijit”
Aku hampir saja berkomentar :”Paha
Tante indah sekali”. Untung aku masih bisa menahan diri. Terus memijit,
sekali-kali mengelus.
“Ke atas lagi To” suaranya jadi
serak.
Ini yang kuimpikan! Sudah lama aku
ingin meremas pantat yang menonjol indah ke belakang itu, kini aku disuruh
memijitnya! Dengan senang hati Tante!
Aku betul-betul meremas kedua
gundukan itu, bukan memijit, dari luar daster tentunya. Dengan gemas malah! Keras
dan padat.
Ah, Tante. Tante tidak tahu dengan
begini justru menyiksa saya! kataku dalam hati. Rasanya aku ingin menubruk,
menindihkan kelaminku yang keras ini ke dua gundukan itu. Pasti lebih nikmat
dibandingkan ketika memeluk tubuh mbak Mar dari belakang.
“Ih, geli To. Udah ah, jangan di
situ terus” ujarnya menggelinjang kegelian. Barusan aku memang meremas pinggir
pinggulnya, dengan sengaja!
“Cape, To ?” tanyanya lagi.
“Sama sekali engga, Tante” jawabku
cepat, khawatir saat menyenangkan ini berakhir.
“Bener nih ? Kalau masih mau terus,
sekarang punggung, ya ?”. Aha, “daerah jamahan” baru!
Bahunya kanan dan kiri kupencet.
“Eeh” desahnya pelan.
Turun ke sekitar kedua tulang
belikat. Lagi-lagi melenguh. Daster tak berlengan ini menampakkan keteknya yang
licin tak berbulu. Rajin bercukur, mungkin. Ah, di bawah ketek itu ada
pinggiran buah putih. Dada busungnya tergencet, jadi buah itu “terbuang” ke
samping. Nakalku kambuh. Ketika beroperasi di bawah belikat, tanganku bergerak
ke samping.
Jari-jariku menyentuh “tumpahan”
buah itu. Tidak langsung sih, masih ada lapisan kain daster dan kutang, tapi
kenyalnya buah itu terasa. Punggungnya sedikit berguncang, aku makin
terangsang.
Ke bawah lagi, aku menelusuri
pinggangnya.
“Cukup, To..” Kedua tangannya lurus
ke atas. Ia tengkurap total. Nafasnya terengah-engah.
“Depannya Tante ?” usulku nakal.
Lancang benar kau To. Tante sampai menoleh melihatku, kaget barangkali atas
usulku yang berani itu.
“Kaki depannya ‘kan belum Tante” aku
cepat-cepat meralat usulku. Takut dikiranya aku ingin memijit “depannya
punggung” yang artinya buah dada!
“Boleh aja kalau kamu engga cape”.
Ya jelas engga dong! Tante berbalik terlentang. Sekejap aku sempat menangkap
guncangan dadanya ketika ia berbalik. Wow! Guncangan tadi menunjukkan
“eksistensi” kemolekkan buah dadanya! Aduuh, bagaimana aku bisa bertahan nih ?
Tubuh molek terlentang dekat di depanku. Ia cepat menarik dasternya ke bawah,
sebagai reaksi atas mataku yang menatap ujung celana dalamnya yang tiba-tiba
terbuka, karena gerakan berbalik tadi. Silakan ditutup saja Tante, toh aku
sudah tahu apa yang ada dibaliknya, rambut-rambut halus agak lurus, hitam,
mengkilat, dan lebat. Lagi pula aku masih bisa menikmati “sisanya”: sepasang
paha dan kaki indah! Aku mulai memijit tulang keringnya. Singkat saja karena
aku ingin cepat-cepat sampai ke atas, ke paha.
Lutut aku lompati, takut kalau ia
kesakitan, langsung ke atas lutut, kuremas dengan gemas.
“Iih, geli”. Aku tak peduli, terus
meremas. Paha selesai, untuk mencapai paha atas aku ragu-ragu, disingkap atau
jangan. Singkap ? Jangan! Ada akal, diurut saja. Mulai dari lutut tanganku
mengurut ke atas, menerobos daster sampai pangkal paha.
“Aaaah, Tooo ….” Biar saja. Kulihat
wajahnya, matanya terpejam. Aku makin bebas.
Dengan sendirinya tepi daster itu
terangkat karena terdorong tanganku. Samar-samar ada bayangan hitam di celana
dalam tipis itu. Jelas rambut-rambut itu. Ke bawah lagi, urut lagi ke atas.
Aaah lagi. Dengan cara begini, sah-sah saja kalau jempol tanganku menyentuh
selangkangannya. Sepertinya basah di sana. Ah masak. Coba ulangi lagi untuk
meyakinkan. Urut lagi. Ya, betul, basah! Kenapa basah ? Ngompol ? Aku tidak
mengerti.
“To …” panggilnya tiba-tiba. Aku
memandangnya, kedua tanganku berhenti di pangkal pahanya. Matanya sayu
menantang mataku, nafasnya memburu, dadanya naik-turun.
“Ya, Tante” mendadak suaraku serak.
Dia tak menyahut, matanya tetap memandangiku, setengah tertutup. Ada apa nih ?
Apakah Tante ….. ? Ah, mana mungkin. Kalau Tante terrangsang, mungkin saja,
tapi kalau mengajak ? Jangan terlalu berharap, To!
Aku meneruskan pekerjaanku. Kini tak
memijit lagi, tapi menelusuri lengkungan pinggulnya yang indah itu, membelai.
Habis tak tahan.
“Uuuuh” desahnya lagi menanggapi
kenakalanku. Keterlaluan aku sekarang, kedua tanganku ada di balik dasternya,
mengelus mengikuti lengkungan samping pinggul.
“Too …. ” panggilnya lagi. Kulepas
tanganku, kudekati wajahnya dengan merangkak di atas tubuhnya bertumpu pada
kedua lutut dan telapak tanganku, tidak menindihnya.
“Ada apa, Tante” panggilku mesra.
Mukaku sudah dekat dengan wajahnya.
Matanya kemudian terpejam, mulut
setengah terbuka. Ini sih ajakan. Aku nekat, sudah kepalang, kucium bibir Tante
perlahan.
“Ehhmmmm” Tante tidak menolak,
bahkan menyambut ciumanku. Tangan kirinya memeluk punggungku dan tangan
kanannya di belakang kepalaku. Nafasnya terdengar memburu. Aku tidak lagi
bertumpu pada lututku, tubuhku menindih tubuhnya. Menekan. Ia membuka kakinya.
Aku menggeser tubuhku sehingga tepat di antara pahanya yang baru saja ia buka.
Kelaminku yang keras tepat menindih selangkangannya. Kutekan. Nikmatnya!
“Ehhhmmmmmm” reaksinya atas aksiku.
Kami saling bermain lidah. Sedapnya!
Aku terengah-engah.
Dia tersengal-sengal.
Tangan kananku meremas dada kirinya.
Besar, padat, dan kenyal! Ooooohhhh, aku melayang.
He!, ini Tantemu, isteri Oommu!
Iya, benar. Memangnya kenapa.
Mengapa kamu cium, kamu remas
dadanya.
Habis enak, dan ia tak menolak.
Dua kancing dasternya telah kulepas,
tanganku menyusup ke balik kutangnya.
Selain besar, padat, dan kenyal,
ternyata juga halus dan hangat!
Tiba-tiba Tante melepas ciumanku.
“Jangan di sini, To” katanya
terputus-putus oleh nafasnya.
Tanpa menjawab aku mengangkat
tubuhnya, kubopong ia ke kamarnya. “Uuuuuhhh” lenguhnya lagi.
“Ke kamarmu saja”
Sebelum sampai ke dipanku, Tante
minta turun. Berdiri di samping dipan. Aku memeluknya, dia menahan dadaku.
“Kunci dulu pintunya” Okey, beres.
Kulepas seluruh kancingnya,
dasternya jatuh ke lantai. Tinggal kutang dan celana dalam. Buah dada itu
serasa mau meledak mendesak kutangnya!
Kupeluk lagi dia. Dadanya merapat di
dadaku.
“Tooo, hhehhhhhhh” katanya gemas
seperti menahan sesuatu.
Kami berciuman lagi. Main lidah
lagi.
Tangannya menyusup ke celanaku,
meremas-remas kelaminku di balik celana.
“Eehhmmmmmm” dengusnya
Dengan kesulitan ia membuka ikat
pinggangku, membuka resleting celanaku, merogoh celana dalamku, dan
mengeluarkan “isinya”
“Eehhh” Ia melepas ciuman, melihat
ke bawah.
“Ada apa Tante” Tanyaku disela-sela
dengus nafasku.
“Besar sekali”
Ia mempermainkan penisku.
Menggenggam, meremas.
Geli, geliii sekali.
Stop Tante, jangan sampai keluar.
Aku ingin pengalaman baru, Tante. Ingin memasuki kelaminmu..sekarang!
Kutarik tangannya dari penisku.
Untung Tante menurut. Aku tak jadi “keluar”
Kulepas tali kutangnya, tapi yang
belakang susah dilepas. Tante membantu. Buah dada itu terbuka. Wow.luar biasa
indahnya. Belum sempat aku menikmat buah itu, Tante memelukku. Meraih tangan
kananku, dituntunnya menyelip ke celana dalamnya. Dibawah rambut-rambut itu
terasa basah. Diajarinya aku bagaimana jariku harus bermain di sana :
menggesek-gesek antara benjolan dan pintu basah itu.
“Uuuuuuhhhhhh, Tooo..”
Dilepasnya bajuku, singletku,
celanaku luar dalam. Aku telanjang bulat. Kutarik juga celana dalamnya. Ia
telanjang bulat juga. Luar biasa. Pinggang itu ramping, perut itu rata, ke
bawah melebar lengkungannya indah. Rambut-rambut halus itu menggemaskan, diapit
oleh sepasang paha yang nyaris bulat. Seluruhnya dibalut kulit yang putih dan
mulusnya bukan main!.
Ditariknya aku ke dipan. Ia
merebahkan diri. Kakinya ditekuk lalu dibuka lebar. Dipegangnya kelaminku,
ditariknya, ditempelkannya di selangkangan. Rasanya terlalu ke bawah. Ah, dia
‘kan yang lebih tahu. Aku nurut saja. Tangannya pindah ke pantatku. Ditariknya
aku mendekat tubuhnya. Sesuatu yang hangat terasa di ujung penisku.
Tangannya memegang penisku lagi. Belum
masuk ternyata. Disapu-sapukannya kepala penisku di pintu itu. Sementara ia
menggoyang pantatnya. Geliii, Tante. Aku manut saja seperti kerbau dicucuk
hidung. Memang belum pengalaman! Didorongnya lagi pantatku. Meleset!
Pernah kupikir waktu pertama kali
aku melihat kelamin Tante beberapa hari lalu, mana cukup lubang sesempit itu
menampung kelaminku yang lagi tegang ?
Tante membuka pahanya lebih lebar
lagi, mengarahkan penisku lagi, dan aku sekarang yang mendorong. Kepalanya
sudah separoh tenggelam, tapi macet!
“Kelaminmu besar, sih!”keluhnya.
Padahal barusan ia mengaguminya.
Ia menggoyang pantatnya dan…bless.
Masuk separoh.
“Aaaaahhh” teriak kami berbarengan.
Terasa ada sesuatu yang menjepit penisku, hangat, enak!
Pantatnya bergoyang lagi, tumitnya
mendorong pantatku.
Blesss..masuk lagi. Makin hangat,
makin sedap, dan geli.
Goyang lagi, aku dorong sekarang.
Masuk semuanya
Seedaaaaaaaaap!
Tante bergoyang.
Nikmaaaaaaaat!
Tante menjepit.
Geliiiiiiiiiiiiiiii!
Kutarik pelan. Terasa gesekan, enak.
Ya, digesek begini enak. Tarik sedikit lagi, dan kudorong lagi.
“Idiiiiiiiiiiih, sedaaaaapp Too”
Tante berteriak, agak keras.
Geli di ujung sana. Tariik, dorooong
Makin geli..
Geli sekali…
Tak tahaaaaaann…
“Tahan dulu, To”
Tak mungkin, sudah geli
sekali.lalu..
Aku melambung, melayang, melepas..
“Aaaaaahhhhhhh” teriakku. Nikmatnya
sampai ke ubun-ubun.
Mengejang, melepas lagi, berdenyut,
enak, melepas lagi, nikmat sekali..!
“Genjot lagi, To” teriaknya
Mana bisa.
“Ayo, To”
Aku sudah selesai!
Tante masih menggoyang
Aku ikut saja, pasif
“Tooooo, ..”
Tante gelisah, goyangnya tak
kubalas. Aku sudah selesai!
“Eeeeeeeeehh” keluhnya, sepertinya
kecewa.
Bergerak-gerak tak karuan,
menendang, menggeliat, gelisah..
Penisku mulai menurun, di dalam
sana.
Tante berangsur diam, lalu sama
sekali diam, kecewa.
Tinggal aku yang bingung.
Beberapa menit yang lalu aku
mengalami peristiwa yang luar biasa, yang baru kali ini aku melakukan. Baru
kali ini pula aku merasakan kenikmatan yang luar biasa. Kenikmatan berhubungan
kelamin.
Nikmatnya susah digambarkan.
Hubungan kelamin antara pria yang
mulai menginjak dewasa dengan wanita dewasa muda.
Sama-sama diinginkan oleh keduanya.
Keduanya yang memulai.
Berdua pula yang melanjutkan,
keterusan dan…kepuasan.
Kepuasan ? Aku memang puas sekali,
tapi Tante ?
Itulah masalahnya sekarang.
Aku menangkap wajah kecewa pada
Tante.
Perilakunya yang gelisah juga
menandakan itu.
Aku jadi merasa bersalah. Aku egois.
Aku mendapatkan kenikmatan luar
biasa sementara aku tak mampu memberi kepuasan kepada “lawan mainku”, Tante
Yani.
Terlihat tadi, ia ingin terus
sementara aku sudah selesai.
Aku bingung bagaimana mengatasi
kebisuan ini.
Aku masih menindih tubuhnya. Penisku
masih di dalam.
Buah dadanya masih terasa kencang
mengganjal dadaku.
Pandangannya lurus ke atas melihat
plafon.
Aku harus ambil inisiatif.
Kucium pipinya mesra, penuh
perasaan.
“Maafkan saya, Tante”
Tante menoleh, tersenyum dan balas
mencium pipiku.
Sementara aku agak lega, Tante tak
marah.
“Kamu engga perlu minta maaf, To”
“Harus Tante, saya tadi nikmat
sekali, sebaliknya Tante belum merasakan. Saya engga mampu, Tante. Saya belum
pengalaman Tante. Baru kali ini saya melakukan itu”
“Betul ? Baru pertama kamu melakukan
?”
“Sungguh Tante”
“Engga apa-apa, To. Tante bisa mengerti.
Kamu bukannya tidak mampu. Hanya karena belum biasa saja. Syukurlah kalau kamu
tadi bisa menikmati”
“Nikmaaat sekali, Tante”
Tante diam lagi, mengelus-elus
punggungku. Nyaman sekali aku seperti ini.
“To ” panggilnya.
“Ya, Tante”
“Ini rahasia kita berdua saja ya ?
Tante minta kamu jangan katakan hal ini pada siapapun”
“Tentu Tante, tadinya sayapun mau
bilang begitu” Tiba-tiba aku ingat sesuatu. Mendadak aku jadi cemas.
“Tante ”
“Hhmm”
“Gimana kalau Tante nanti ..” Aku
tak berani meneruskan.
“Nanti apa ?”
“Akibat perbuatan tadi, lalu Tante
..”
“Hamil ?” potongnya.
“Ya ”
“Engga usah kamu pikirkan. Tante
sudah jaga-jaga”
“Saya engga mengerti Tante”
“To, lain kali saja ya Tante
jelasin. Sekarang Tante harus mandi, Oommu ‘kan sebentar lagi datang”
Ah, celaka. Sampai lupa waktu. Aku
bangkit hendak mencabut.
“Pelan-pelan To” katanya sambil
menyeringai, lalu matanya terpejam
“Eeeeeehhh” desahnya hampir tak
terdengar, ketika aku mencabut kelaminku.
Kubantu ia mengenakan kutangnya.
Buah dada itu belum sempat aku nikmati. Lain kali pasti!
“Tante ” aku memanggil ketika ia
sudah rapi kembali.
Kupeluk ia erat sekali, kubisikkan
di dekat kupingnya
“Terima kasih, Tante” lalu kucium
pipinya.
“Ya ” jawabnya singkat.
“Sana mandi, cuci yang bersih niih”
katanya lagi sambil menggenggam penisku waktu bilang ‘niih’
Ooohhh, nikmatnya hari ini aku.
Malam ini pertama kali aku ciuman
dengan nikmat, pacaran sampai “keterusan”. Pertama kali penisku memasuki
kelamin wanita. Pertama kali aku menumpahkan “air” ku ke dalam tubuh wanita,
tidak ke perut atau ke lantai.
Lebih istimewa lagi, wanita itu
adalah Tante Yani.
Wanita dengan tubuh yang luar biasa.
Bentuknya, potongannya, halusnya,
padatnya, putihnya, bulunya…..
Padahal wanita itu sudah 26 tahun,
sepuluh tahun di atas usiaku. Tapi lebih padat dari Si Ani yang 17 tahun, lebih
manis dari Si Yuli yang sepantaranku, lebih indah dari Si Rika yang seumurku.
Yang masih mengganjal, wanita itu
Tanteku, isteri Oom Ton. Ya, aku meniduri isteri Oomku! Aku mendapatkan
pengalaman baru dari isterinya! Aku memperoleh kenikmatan dari meniduri
isterinya. Isteri orang yang membiayai sekolahku, yang memberiku makan dan
tempat tinggal!
Betapa jahatnya aku. Betapa
kurangajarnya aku.
Aku sekarang jadi pengkhianat!
Mengkhianati adik misan ayahku!
Tapi, keliru kalau semua kesalahan
ditimpakan kepadaku.
Siapa yang menyuruh memijat ?
Okey, seharusnya memijat saja,
kenapa pakai mengelus ?
Pakai meremas pantat ? Habis, siapa
yang tahan ? Aku masih 16 tahun, masih sangat muda, tapi sudah matang secara
seksual, mudah terrangsang.
Tante sendiri, kenapa tidak menolak
? Bisa saja ia menempelengku ketika aku mau mencium bibirnya di karpet itu.
Bisa saja ia menolak waktu aku membopongnya ke kamarku. Dan aku, bisa saja
memberontak waktu ia merogoh celana dalamku, waktu ia menggenggam kelaminku dan
diarahkan ke kelaminnya….
Kesimpulannya : salah kami berdua!
Tapi, aku ingin mengulangi ……….!
Paginya, kami sarapan bertiga, Aku,
Oom, dan Tante. Aku jadi tidak berani menatap mata Oom waktu kami berbicara.
Mungkin karena ada perasaan bersalah. Sedangkan Tante, biasa-biasa saja.
Sikapnya kepadaku wajar, seolah tak terjadi apa-apa. Tak ada pembicaraan
penting waktu makan.
Tante bangkit menuangkan minuman
buat Oom. Kupandangi tubuhnya. Aku jadi ingat peristiwa semalam. Rasanya aku
tak percaya, tubuh yang ada di depanku ini, yang sekarang tertutup rapat, sudah
pernah aku tiduri. Aku ngaceng lagi..
Susah sekali aku berkonsentrasi
menerima pelajaran hari ini. Pikiranku ke rumah terus, ke Tante. Bagaimana ia
“menuntunku” masuk. Bagaimana aku mulai belajar “menggesek”, terus keenakkan.
Aku ingin lagi…!
Tante bagaimana ya, apakah ia ingin
lagi ? Aku meragukannya, mengingat semalam ia tidak puas. Jangan-jangan ia
kapok. Tadi pagi sikapnya biasa saja. Mestinya sedikit lebih mesra kepadaku.
Memangnya kamu ini siapa.
Lebih baik begitu, wajar saja, ‘kan
ada suaminya.
Dua hari kemudian ketika aku pulang
sekolah, kulihat ada mobil Oom di garasi. Apakah Oom Ton tak ke kantor hari ini
? Atau jangan-jangan Oom tahu kalau aku ..
Ah, jangan berpikir begitu. Dua hari
terakhir ini sikap Oom kepadaku tak ada perubahan apa-apa. Sikap Tante juga
wajar-wajar saja. Justru aku yang kelimpungan. Bayangkan. Setiap hari ketemu
Tante. Aku selalu membayangkan “dalam”-nya, walau pakaian Tante tertutup rapat.
Lalu, terbayang, aku sudah pernah menjamah tubuh itu, dan terangsang lagi.
Selama dua hari ini aku betul-betul
tersiksa. Terlihat paha Tante yang sedikit tersingkap saja, aku langsung
“naik”. Ooh..! Aku ingin lagiiiiii.
Siang ini aku makan sendirian. Kamar
Tante tertutup rapat. Oom pasti ada di dalam, mobilnya ada. Tante juga
tentunya. Mungkin mereka sedang …? Siang-siang ? Biar saja, toh suami-isteri.
Sekejap ada rasa tak nyaman. Tanteku sedang ditiduri suaminya…! Aku iri!
Memangnya kamu siapa ?
Baru saja aku selesai menyantap
sendok terakhir makananku, kemudian mengangkat gelas, ketika tiba-tiba pintu
kamar terbuka, Tante keluar, mengenakan baju tidur. Aku terpana. Tanganku yang
sedang memegang gelas berhenti, belum sempat minum, terpesona oleh Tante dengan
baju tidurnya. Kelihatan ia baru bangun tidur, melihatku.
“Sudah pulang, To”
“Udah dari tadi Tante”
Ia tutup pintu kamarnya kembali lalu
mendekatiku, dan tiba-tiba mencium pipiku erat, lenganku merasakan lembutnya
sesuatu yang menandakan Tante tak memakai kutang.
Hampir saja aku menumpahkan air
minum karena kaget.
“Ada kabar gembira.”katanya berbisik.
Sebelum aku berreaksi atas aksinya itu, Tante sudah beranjak ke belakang
meninggalkanku.
Aku jadi penasaran. Penasaran pada
benda lembut yang mendesak lenganku tadi, serta pada kabar gembira apa ?
Ketika Ia kembali lagi, aku berdiri
untuk memuaskan rasa penasaran tadi.
Tante menempelkan telunjuknya ke
mulut sambil matanya melirik ke kamar. Aku mengerti isyarat ini. Jangan ganggu,
ada suaminya.
Sejam kemudian kulihat Oom Ton duduk
di sofa ruang tengah bersama Tante. Oom Ton berpakaian rapi berdasi, seperti
hendak ke kantor, sedangkan Tante mengenakan daster pendek tak berlengan
berkancing tengah, daster kesukaanku. Terlihat segar, baru saja mandi, mungkin.
“Tarto” Oom Ton memanggilku.
“Ya, Oom”
“Oom mau ke Bandung, dua hari. Kamu
jaga rumah ya ?”
Ini rupanya kabar gembira itu!
“Baik, Oom, kapan Oom berangkat ?”
“Sebentar lagi, jam tiga”
Dua hari Oom tak ada di rumah,
tentunya dua malam juga. Dua malam aku menjaga rumah, bersama Tante.
Dua malam bersama Tante ? Bukan
main!. Eit, jangan berharap dulu, ya. ‘Kan tadi Ia bilang kabar gembira ?
Kok kamu yakin kabar gembiranya
Tante adalah karena Oom ke Bandung ? Jangan sok pasti ya!
Aku melirik Tante, Ia biasa-biasa
saja.
Pak Dadan datang membawa tas di
bahunya, masuk garasi menghidupkan mesin mobil.
“Papa berangkat ya, Ma”
“Ya, Pa, hati-hati di jalan, ya ?”
“Mama juga hati-hati di rumah”
Oom mencium pipi Tante, lalu
menciumi Si Luki.
“Jaga baik-baik, ya To”
“Ya, Oom”
Seisi rumah mengantar Oom sampai
depan pintu pagar, melambai sampai mobilnya berbelok ke jalan Tebet Timur Raya.
Semuanya masuk ke rumah kembali.
Hatiku bersorak. Dadaku penuh berharap dan kepalaku penuh rencana.
Luki dibawa pengasuhnya ke rumah
sebelah. Mbak meneruskan pekerjaannya di belakang. Aman. Tinggal aku dan Tante.
Kuberanikan diriku. Kupeluk Tante dari belakang. Betul ‘kan, Tante tak memakai
kutang. Wah, sudah lama sekali aku tak menyentuhnya.
Tante sedikit kaget, lalu berbalik
membalas pelukanku. Cuma sebentar, melepaskan diri.
“Sabar, dong To”
“Tante …” Serak suaraku.
“Nanti malam saja ”
Aha, rencana di kepalaku bisa
terlaksana malam ini.
Kami duduk berdampingan di sofa,
sedikit berjarak. Aku nonton TV, Tante membaca.
Aku tak tahan lagi, penisku sudah
tegang dari tadi. Sekarang baru jam setengah empat sore. Berapa jam lagi aku
mesti menunggu ? Oh, lama sekali.
Tante, tolonglah aku. Aku tak
sanggup lagi menunggu.
Kulihat sekeliling meyakinkan
situasi. Luki masih sama si Tinah di tetangga. Mbak Mar menyetrika di belakang.
Aman!
Kupegang tangan Tante yang sedang
ada di pahanya. Dengan begini aku bisa meremas-remas tangannya sambil merasakan
lembutnya paha. Ia sesekali membalas remasanku, tetap membaca.
Ditariknya tangannya untuk membuka
halaman buku bacaannya, tanganku “tertinggal” di pahanya. Kesempatan.
Kuusap lembut pahanya. Paha itu
masih seperti yang kemarin, padat, kenyal, halus, berbulu lembut. Masih tetap
membaca.
Aku makin berani, tanganku bergerak
ke atas menyusup dasternya. Kuusap celana dalamnya. Nafasnya mulai terdengar
meningkat “volume”nya.
Diletakkannya buku itu sambil
menghela nafas panjang.
“To., kamu engga sabaran, ya ?”
katanya sambil memegang tanganku di bawah sana.
“Maafkan saya Tante, saya.. saya
..engga kuat lagi Tante, saya ingin lagi, Tante” Kataku terputus-putus menahan
birahi yang mendesak. Kelaminku juga mendesak.
“Masih sore, To”
“Tolonglah., Tante, saya
membayangkan terus setiap ..hari” kataku setengah memohon. Aku yakin Tantepun
sebenarnya telah terangsang, terlihat dari nafasnya dan aku merasakan basah di
celananya. Aku sudah sampai pada titik yang tak mungkin surut kembali. Situasi
sekeliling aman. Jadi, apa lagi selain berlanjut ?
“Saya mohon, Tante” kini aku
betul-betul memohon.
Ditariknya tanganku dari paha, lalu
dituntun ke dadanya. Permohonanku diterima.
Kuremas buah dada itu yang hanya
ditutupi selembar kain daster.
“Eeeeeeehhh” desahnya.
Tiga hari lalu, waktu aku pertama
kali meniduri Tante (memang baru pertama kali aku berhubungan sex), aku belum
sempat menikmati buah dada ini. Waktu itu kami sudah sama-sama terangsang
sehabis aku memijatnya. Aku baru sempat meremasnya, itupun dibalik kutang. Lalu
ketika kutangnya sudah terbuka, Tante sudah keburu menuntun kelaminku
memasukinya.
Sekaranglah kesempatan untuk
menikmati dada itu.
Kubuka kancing dasternya, satu, dua,
tiga.
Dada itu mengagumkan.
Putih, besar, menonjol, bulat,
bergerak maju mundur seirama nafasnya, putingnya kecil agak panjang tegak lurus
ke depan berwarna merah jambu.
Aku berlutut di depannya,
kusingkirkan daster itu, kucium belahan dadanya yang seperti parit kecil di
antara dua bukit.
Halusnya buah itu dapat kurasakan di
kedua belah pipiku.
Mulutku bergerak ke kiri, ke dada
bagian atas, terus turun, kutelusuri permukaan bukit halus itu dengan bibir dan
lidahku. Sementara tangan kananku mengusapi buah kirinya. Luar biasa, kulit itu
haluuus sekali! Tangannya mengusap-usap belakang kepalaku. Penelusuranku
berakhir di puncaknya. Kumasukkan putting itu kemulutku, kukemot.
“Aaaaaaaahhh” lenguhnya pelan
sekali.
Tangannya menekan kepalaku.
Kukemot lagi, kuhisap, kupermainkan
dengan lidahku, putting itu mengeras. Puting satunya lagi juga mengeras, terasa
di antara telunjuk dan ibujari tangan kananku.
Ada kesamaan gerak antara mulut dan
tangan kananku. Kalau mulutku mengulum puting, jari-jariku memilin puting
sebelahnya. Bila bibir dan lidahku merambahi seluruh permukaan buah yang sangat
halus itu, telapak tanganku merambah pula. Seluruh permukaan dada itu demikian
halus, sehingga ada sedikit yang tak halus di sebelah puting agak ke bawah
menarik perhatianku.
Kulepaskan muluku dari dadanya,
ingin memeriksa. Di sebelah puting dada kiri Tante ada bercak merah.
Kuperhatikan dan kuraba. Seperti bekas gigitan. Oh. Aku ingat tadi siang waktu
makan. Ini pasti “hasil kerja” Oom Ton di kamar yang terkunci tadi..
Akupun ingin. Betapa enaknya
menggigit buah kenyal ini.
Dada kanan bagianku. Kucium puting
itu kembali, geser sedikit, aku mulai menggigit.
Tiba-tiba Tante mendorong kepalaku.
“Jangan, To. Kamu..mikir, dong”
katanya sambil terengah-engah.
Ah, bodohnya aku. Kalau kugigit
tentu nanti berbekas, jelas pemilik sahnya, Oom Ton, akan curiga!
“Maafkan saya Tante, habis gemas
sih.”
“Yahhh.engga apa-apa. Kamu harus
ingat, ini rahasia kita saja”
Dipegangnya dadanya sendiri lalu
disodorkannya ke mulutku. Gantian, sekarang dada kiri dengan mulutku, yang
kanan dengan tangan kiriku….
Sudah saatnya untuk pindah ke kamar.
Aku bangkit berdiri. Tante masih
tergolek duduk. Kancing tengah dasternya sudah semuanya terlepas, menyibak
kesamping, tinggal celana dalamnya saja. Dada itu rasanya makin besar saja.
Kutarik kedua tangan Tante, tapi ia
melepaskannya. Dibukanya gesperku, lalu kancing celanaku, dan ditariknya
resleting dan celana dalamku. Penisku yang tegang itu keluar dengan gagahnya
persis di depan mukanya.
“Uuuuuuuuuhhhh” Tante melenguh pelan
memegang kelaminku, dielusnya.
“Kok besar sekali sih To, punyamu
ini”
Kuraih badannya, kubimbing ia ke
kamarku sambil masih memegang senjataku, tertatih-tatih kami berdua.
Kukunci pintu kamarku, kurebahkan
Tante perlahan di dipanku, kulucuti pakaianku, dengan bertelanjang bulat
kudekati Tante.
Dengan perlahan kupelorotkan celana
merah jambu itu. Kembali aku bertemu dengan rambut halus hitam mengkilat itu.
Ada cairan bening di sana. Kutindih tubuhnya lalu kakinya menjepit tubuhku.
Kamipun berciuman, saling menggigit lidah. Lalu akupun tak tahan lagi.
Aku bangkit. Kubuka kakinya lebar.
Lubang sempit itu terbuka sedikit, merah. Sekarang aku tak perlu dituntun lagi.
Aku sudah tahu. Kutempelkan kepala penisku ke lubang sempit itu, lalu kudorong
hati-hati.
“Aaaaaaaaaaahhhhh, To, sedaaaaaap”
Kepalanya sudah masuk.
Nikmaaaaaaaaaat!
Aku heran, lubang sesempit itu bisa
“menelan” kepala penis besarku. Kenapa kupikirkan ? Yang penting enak.
Sambil memegangi kedua belah
dadanya, aku mendorong lagi. Enak-enak geli atau geli-geli enak. Entah mana
yang benar. Kudorong lagi, Aaah lagi, enak lagi, geli lagi.
Lagi kudorong, sampai habis, sampai
mentok.
“Idiiiiiiiiiiiiih, Toooo, enak
sekali”
Nyaman, sudah didalam seluruhnya.
Pinggul Tante mulai berputar. Aku
tahu tugasku, menarik dan mendorong. Mulut Tante mengeluarkan bunyi-bunyian
setiap aku mendorong. Melenguh, mendesah, kadang menjerit kecil, atau kata-kata
yang tak bermakna.
Kejadian tiga hari lalu berulang.
Baru beberapa kali “tusuk” aku sudah merasakan geli luar biasa. Nampaknya aku
tak mampu menahan lagi. Ah, kenapa begini ? Aku tak bisa tahan lama. Aku cemas
jangan-jangan Tante nanti kecewa lagi. Tapi bagaimana lagi, aku sudah hampir
tiba di puncak.
Aku coba berhenti bergerak sambil
menahan agar jangan sampai keluar dulu, persis kalau aku menahan kencing. Tapi
begitu aku diam, pantat Tante langsung berputar. Seluruh bagian tubuh yang di
dalam sana memeras-meras kelaminku. Oh, aku tak akan berhasil menahan diri.
Langsung saja aku bergerak lagi, makin cepat malah. Ocehan Tantepun makin
ngawur.
Aku jadi cepat, makin cepat dan
semakin cepat, lalu ……. badanku bergetar hebat, mengejang, berulang,
memuntahkan, mengejang lagi, muntah lagi…
Tante berhenti berputar, lalu
menjepit kakiku, menerima pelepasanku.
Rasanya aku mengeluarkan banyak
sekali
Lalu akupun ambruk di atas tubuh
Tante.
Aku selesai. Selesai menggetar,
selesai mengejang, selesai melepas, selesai semuanya. Tanteku selesai terpaksa.
Aku yakin ia kecewa lagi.
“Tante, gimana Tante, saya engga
bisa menahan lagi …”
“Hmmm, To”
“Maafkan lagi saya, Tante. Saya
gagal”
“Sudahlah, To”
“Saya hanya memuaskan diri sendiri”
“Tante bilang sudahlah, kamu lumayan
tadi”
“Lumayan gimana Tante ?”
“Ada kemajuan dibanding yang lalu.
Tante merasa enak, tadi”
“Tante bohong! Tante cuma menghibur
saya”
“Benar, To. Memang Tante merasa
belum “tuntas”, tapi kocokanmu tadi bisa Tante nikmati”. Aku agak tenteram.
“Ini karena kamu belum biasa, To.
Tante yakin, lama-lama kamu akan mampu. Barangmu kerasnya luar biasa”
“Gimana caranya supaya saya bisa
lama, Tante ?’
“Nanti kamu akan tahu sendiri”
“Ajarin saya ya, Tante”
Tante tak menjawab. Akupun berdiam
diri. Lama kami berdua membisu.
Tante melihat jam, pukul empat sore,
lalu bangkit mencari-cari pakaiannya yang berserakan.
“Tante mandi dulu, ya ?”
Aku membantunya berpakaian.
Merapikan karet celana dalamnya,
mengkaitkan kutangnya, mengancingkan dasternya. Ada sesuatu yang lain
kurasakan. Aku merasa demikian “mesra” membantunya berpakaian. Aku serasa
membantu isteriku!
Ya, barusan aku merasa meniduri
isteriku.
Kupeluk Tante erat sekali, agak
lama. Lalu kucium pipinya dalam-dalam.
“Tante”
“Apa, To ?”
“Tarto sayang Tante” kataku
tiba-tiba.
Dipandangnya mataku lurus-lurus.
“Apa maksudmu To”
“Engga tahu Tante, pokoknya saya
sayang sama Tante. Tante jangan kapok, ya ? Tarto ingin kita terus begini”
“Oh, itu maksudmu. Asal kamu bisa jaga
rahasia”
“Bisa, Tante”
“Juga harus hati-hati”
“Iya,Tante”
Tanpa kusadari, penisku bangun lagi.
“Sudah, mandi sana” Tante ke luar
kamarku.
Malam itu aku nonton TV sendirian.
Tante ada di kamarnya, tertutup. Aku kesepian. Aku mengharapkan Tante akan ke
luar dari kamar menemaniku di sini. Kemudian aku mendekatinya, lalu ciuman,
raba-raba, dan …diakhiri dengan hubungan suami-isteri.
Heran aku, baru tadi sore aku
dipuaskan oleh Tante di kamarku, malam ini aku ingin lagi! Aku ingin kenikmatan
itu lagi. Aku tetap menunggu.
Jam 9 malam. Tante belum juga
muncul.
Pukul 9.30, tidak juga.
Kemarilah Tante, aku merindukanmu.
Malam ini adalah malam pertama Oom
tak ada di rumah. Ayolah Tante, ini kesempatan yang tak boleh dilewatkan.
Atau kuketuk saja pintunya, lalu aku
masuk ?
Ah jangan. Itu kurang ajar, namanya.
Tubuh indah itu sendirian di kamar.
Buah dada putih itu tak ada yang
mengelusnya.
Kelamin berambut halus itu tak ada
yang memasukinya malam ini.
Kenapa engkau tidak ke luar ?
Barangkali Tante memang tidak
membutuhkannya. Paling tidak malam ini.
Ya, kalau ia butuh tentunya akan
mendekatiku.
Jam 10, belum ada tanda-tanda.
Aku putuskan, malam ini memang Tante
tak mau diganggu. Biar sajalah. Toh besok siang, sore, atau malam masih ada
kesempatan. Oom Ton menginap di Bandung dua malam. Yah, besok sajalah.
Tapi aku ingin malam ini!
Aku ingin malam ini kelaminku masuk
dan kemudian mengeluarkan cairan dengan nikmat!
Kemudian aku mengeluarkan penisku
yang sudah tegang itu. Kata Tante punyaku ini besar. Entah benar-benar besar,
aku tak tahu. Sebab aku belum pernah lihat punya orang lain.
Karena tidak ada Oom Ton, aku jadi
makin berani menggoda Tanteku. Seperti waktu sarapan tadi. Aku mengelus-elus
bahu dan lengan atasnya yang terbuka di meja makan. Bahkan mencium pipinya.
“Hati-hati, To”
“Ya, Tante, Kan saya lihat-lihat
keadaan dulu”
“Mar ada di belakang” katanya.
“Tante”
“Ehm ?”
“Tarto sayang Tante”
“Aku udah ada yang punya, To”
katanya sambil mencubit pahaku. Aku senang.
“Ya. Pokoknya saya sayang”
Jangan-jangan aku jatuh cinta benar-benar sama Tanteku ini.
“Semalam Tante ke mana. Saya
tunggu-tunggu”
“Ya. Tante tahu, kamu nonton TV.
Kamu masuk kamar jam 10 ‘kan ? Masa’ mau terus-terusan”. Aku lega, Tante tak
tahu perbuatanku semalam yang menyelinap ke kamar Mbak Mar.
“Iya dong. Mumpung ada kesempatan.
Sekarang juga saya mau” kataku nakal.
“Gila, kamu To. Awas jangan sampai
mengganggu sekolahmu!”
“Habis Tante betul-betul
menggemaskan” Aku ngaceng lagi!
“Udah ah, berangkat sana, nanti
telat”
“Tapi nanti lagi ya Tante, janji
dulu”
“Lihat dulu nanti”
Bagaimana tidak mengganggu sekolah,
seharian aku ingat Tante terus. Membayangkan apa yang akan kuperbuat nanti
bersama Tante.
Di kelas aku jadi sering melamun,
membayangkan waktu aku menyelusuri seluruh permukaan dada Tante dengan mulut dan
lidahku. Membayangkan bagaimana kelaminku secara perlahan memasukinya…
Bel tanda pulang berbunyi. Aku
bersorak. Ingat ke rumah, ingat malam ini Tante menjadi milikku. Akan kureguk
semua kenikmatan dari tubuh Tante. Pokoknya nanti akan kunikmati seluruhnya,
mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki, sampai puas.
Memang aku bisa puas, tapi bagaimana
dengan Tante ? Dua kali aku berhubungan kelamin dengan Tante, dua-duanya aku
bisa mengeluarkan spermaku ke dalam lubang kelamin Tante, sampai puncak, sampai
puas. Tapi Tante tidak. Aku jadi cemas, jangan-jangan nanti aku juga begitu.
Tapi aku ingat, yang kedua kemarin tante bilang aku ada kemajuan. Hal ini
sedikit menghiburku. Mudah-mudahan yang ketiga nanti dengan bertambahnya
pengalamanku, ada kemajuan lagi. Aku agak tenang sekarang.
Di rumah sepi-sepi saja. Tak ada
siapapun, juga Tante. Aku makan siang sendirian. Tante mungkin ada di kamar,
pintu kamarnya tertutup. Kuselesaikan makan siangku dengan cepat, lalu duduk
saja di meja makan, berharap Tante akan keluar dari kamarnya. Setengah jam
berlalu, masih sendiri. Aku ke ruang keluarga nonton TV. Duduk di sofa lalu
ingat, kemarin di sini aku menikmati buah dada Tante dengan tuntas. Diam-diam
punyaku mulai tegak, padahal hanya membayangkan yang kemarin. Ditambah lagi
acara TV menyajikan fashion show di Sydney, Australia. Peragawati cantik-cantik
yang berlenggok di catwalk itu umumnya tak memakai kutang. Kalau model bajunya
berdada rendah, belahan dadanya jelas. Kalau bahannya tipis, putingnya
menonjol. Apalagi peragawati yang punya dada besar, buahnya berguncang waktu ia
melenggang. Aku tambah tegang, makin pusing karena terangsang. Oh. Tante
sayang, kemanakah engkau. Aku membutuhkanmu sekarang!
Tiba-tiba pintu kamar Tante terbuka.
Aku menoleh. Kepala Tante nongol memberi isyarat padaku dengan
mengangguk-angguk. Nasibku memang beruntung. Jelas ini isyarat ajakan masuk.
Tapi masak di kamar itu, kamar pribadi Oom dan Tante. Aku ragu, bengong saja
belum bereaksi atas isyaratnya. Sekali lagi Tante mengangguk, kali ini sambil
mengedipkan kedua matanya. Dengan pasti aku melangkah menuju kamarnya. Kepala
Tante lenyap. Aku masuk langsung menutup pintu kamarnya dan mengunci.
Di ranjang besar itu Tante
terlentang. Mengenakan baju tidur tipis, sehingga samar-samar celana dalam dan
kutangnya terlihat. Matanya sayu memandangku, berkaca-kaca. Kutang itu bergerak
naik-turun menandakan nafas Tante sudah memburu.
Aku tak tahan melihat pemandangan
yang menggairahkan ini, segera saja aku menghampirinya. Tapi…
“Tunggu dulu. Buka dulu dong,
pakaianmu” perintahnya. Okey, tanpa dimintapun aku akan membuka. Sementara aku
membuka pakaian sampai telanjang bulat, Tante memelorotkan celana dalamnya
dengan posisi masih terlentang. Kini di balik baju tidur tipis itu nampak
rambut-rambut halus yang menggemaskan itu.
Belum sempat aku bergerak, ada lagi
‘ulah’ Tante.
Ditariknya gaun tidur tipis itu
perlahan, memperlihatkan paha bulat itu. Ditarik lagi keatas sampai pusarnya
nongol. Kelamin berambut halus dan perutnya terbuka terhidang di depanku. Luar
biasa. Tante menyajikan ’strip tease show’ di depanku! Ada-ada saja Tante ini.
Dengan ’senjata’ yang tegak keras
aku menghampiri tubuh indah ini.
Kucium rambut-rambut halus itu
sebentar. Gemasnya aku.
“Aaaaaaaahhhh” teriak Tante.
Aku berpindah ke atas, kulumat
bibirnya sambil meremas sebelah dadanya. Kutang itu perlu disingkirkan dulu
seharusnya, tapi aku tak sempat. Tanganku sebelah lagi bergerak ke bawah. Eh,
Tante sudah basah! Benjolan dan pintu itu licin.
“Hhhhhhhhmmmmmmmm..” Tante tak mampu
melenguh karena bibirnya aku kunci dengan bibirku.
Disingkirkannya tanganku yang sedang
asyik di bawah, dipegangnya kelaminku, lalu diarahkannya ke ‘pintu’. Rupanya
Tante ingin memulai sekarang. Mungkin sama dengan aku, sudah sama-sama
terangsang lebih dulu sebelum bergumul. Aku terrangsang oleh bayanganku dan
peragawati tadi, Tante terangsang entah oleh apa.
Aku mulai ‘masuk’
“Aduhh! Pelan-pelan, To!” Tante
mengaduh, memang masukku tadi agak kasar.
“Maaf Tante, habis engga tahan
sih..”kataku tersengal.
Kamipun saling menggenjot. Lucu
kelihatannya kali ini. Tante masih mengenakan gaun tidur dan kutangnya, kelamin
kami sudah saling pagut…
Hasilnya, seperti kemarin.
Aku ‘keluar’ lebih dulu, sementara
Tante belum terpuaskan benar. Kentara dari pinggulnya yang masih mencoba
menggoyang sambil kakinya menjepit pinggangku.
Kembali aku kecewa.
Kalau kelaminku sudah bergesekan
dengan kelamin Tante, disamping rasa nikmat, juga rasa geli luar biasa. Jika
sudah geli begitu, aku tak sanggup lagi menahan untuk jangan sampai ke puncak
dulu.
Kembali aku gagal memuaskan Tante.
Kembali aku berusaha menetralkan
suasana yang tak enak ini.
Kuelus buah dada yang putingnya
masih tegang itu dengan penuh perasaan, lalu kucium perlahan. Tante mengusap
kepalaku. Kucium pipinya dengan mesra.
“Tante..”
“Hmmm”
“Saya..engga..”
“Udahlah..Tante tahu. Kamu engga
usah merasa apa-apa. Tante maklum kok. Kamu tadi lumayan, sudah ada kemajuan”
“Tapi Tante kan belum …”
“Engga usah kamu pikirin. Tante
mengerti” katanya menentramkan sambil mengelus-elus dadaku.
“Saya engga bisa bertahan lama,
Tante”
“Sudah lumayan, kok. Tante tadi juga
merasa nikmat. Kamu udah mulai pintar mengocok tadi”
“Saya bisa merasakan Tante tadi
belum puas”
“Iya, memang wanita membutuhkan
waktu yang lebih lama dibanding laki-laki. Tapi kamu tadi ada kemajuan
dibanding kemarin”
“Tak adil rasanya. Saya merasakan
kenikmatan luar biasa, sedangkan Tante belum”
“Sudahlah, To. Tak perlu kamu
pikirkan. Tante mengerti”
“Terima kasih Tante” Kupeluk
tubuhnya erat. Erat sekali.
Diciumnya pipiku, lalu merebahkan
kepalanya di dadaku. Aku mengelus rambutnya.
“Tubuhmu atletis sekali. Dadamu
bidang” katanya sambil tangannya menelusuri dadaku.
“Iya, Tante. Dulu saya kerja di
kebun. Saya juga sering olahraga”
Tiba-tiba tangan Tante ke bawah
menggenggam punyaku.
“Kelaminmu besar sekali”
“Ah, masa Tante. Saya kira
biasa-biasa saja”
“Apalagi kalau lagi tegang”. Kulirik
punyaku, sudah agak surut.
“Tubuh Tante luar biasa” balasku.
“Kalau lagi tegang keras dan panas”
komentarnya lagi masih tentang penisku, mengabaikan pujianku.
“Buah dada Tante indah sekali”
“Ah, masa. Dibanding punya siapa”
pancingnya.
“Siapa saja” Aku pura-pura
terpancing.
“Berarti kamu sering lihat buah
dada, ya” Kubalikkan badannya.
“Besar, bulat, kenyal, putih, licin,
halus lagi” kataku sambil melihat dekat-dekat buah itu.
“Buah dada siapa yang kamu lihat”
tanyanya sambil menggoyang-goyang kelaminku yang masih berada digenggamannya.
“Cuma baru ini” jawabku sambil mulai
merabai permukaan dadanya.
“Jujur aja, To. Dada siapa yang
pernah kamu lihat” katanya lagi. Tante penasaran rupanya.
“Sungguh mati Tante. Cuma punya
Tante yang pernah saya lihat”
“Yang bener, To” tangannya tidak
menggenggam lagi, tapi mengelus kelaminku.
“Benar Tante”
“Kok tahu bagus ?”
“Saya hanya lihat punya teman-teman
sekolah. Itupun dari luar”
“Pernah kamu pegang ?” Tangannya
masih mengelus, aku mulai terangsang.
“Ih, engga lah, Tante. Bisa gempar,
dong”
“Jadi, tahunya punya Tante bagus,
dari mana ?”
“Pokoknya, dari luar, punya Tante
paling besar” Ujung jariku mempermainkan putingnya. Putting itu mulai mengeras.
“Tante”
“Hmm ?”
“Apa setiap buah dada ujungnya
begini ?’
“Begini gimana”
“Panjang, mungil, tapi keras”
“Mungkin. Punyamu mulai keras”
Aku seperti disadarkan. Memang aku
sudah terangsang akibat percakapan tentang dada dan elusan Tante pada
kelaminku. Aku mau lagi. Kenapa tidak ? Mumpung masih ada kesempatan. Oom Ton
paling cepat besok siang pulangnya. Segera saja kukulum putting yang sejak tadi
kupermainkan.
“Eeeeehhhhhmmmmmmm..” Tante melenguh
panjang.
Tanganku ke bawah mencari-cari di
antara ‘rambut-rambut’. Basah di sana. Kugosok yang basah itu.
“Uuhmmmm….Aaahhhhhhh..Uuhhmmmmm”
desahnya agak keras, mengikuti irama gosokanku. Kelaminku diremas-remas. Enak.
“To… Hhheeeehhhggh..sedap,
To..Hhheeeeeghh”
Tante makin ribut, aku khawatir
kalau sampai terdengar dari luar kamar. Ah, tak ada orang ini. Aku makin giat
menggosoki tonjolan kecil di bawah sana.
Tante makin ribut, menceracau tak
karuan
Gosok lagi.
Teriak dia lagi. Akhirnya…
“Udah, To.ampun..Ayo To, sekarang
To, sekarang…!”
Aku bangkit. Kelaminku yang sudah
keras kupegang pangkalnya, kuarahkan. Tante membuka kakinya lebar-lebar.
Demikian lebarnya sampai kedua lututnya ke atas, menyuguhkan kelaminnya yang
membasah, tepat di depan kelaminku.
Aku masuk.
Kudorong perlahan.
“Oooohhh, To..sedapnya….”
Sudah tenggelam separoh. Kudorong
lagi.
“Aduuuuhhhh, mamaaaa, nikmatnya…”
teriaknya lagi.
Kudorong lagi.
Sudah masuk seluruhnya.
Kurebahkan tubuhku menindih
tubuhnya. Tanganku ke belakang punggungnya. Kudekap erat tubuhnya, lalu aku
mulai menggenjot. Sedaaaaaaaapp.
Bertumpu pada kedua lututku, aku
menarik dan mendorong pinggulku.
Nikmaaaaaaaaaattt.
Entah kata apa saja yang keluar dari
mulut Tante aku tak peduli. Terus saja menggenjot, naik-turun, keluar-masuk.
Aku nikmati benar gesekan kelaminku
pada dinding vagina Tante.
Kadang selagi punyaku didalam, Tante
“mengikat” pahaku dengan kakinya sambil memutar pantatnya. Kurasakan sentuhan
seluruh relung kelaminnya pada kelaminku.
Luar biasa sedapnya.
“To…hhehh.kamu…hhehh..kok..hhehh..”Tante
mencoba bicara disela-sela nafasnya yang memburu.
“Keenaapaa . hheehh.. Taanntee…hhehh”
“Kamu….kok…lama…”
Baru aku menyadari, sudah puluhan
kali kelaminku kugenjot keluar- masuk-putar, tapi aku tak merasakan geli
seperti biasanya. Yang kurasakan hanya nikmat. Rasa geli yang tak bisa kutahan
yang kemudian membuat aku ke ‘puncak’, kali ini tak kurasakan! Heran!
“Engga …tahu.. Tante..”
“To, Oh my God..heeeehhhhhh”
“Enak…Tante…?”
“Wooow….luar biasa…”
Genjot dan genjot lagi
“Kamu..masih…lama..To..?”
“Masih…Tante.”
Memang aku belum merasakan “geli
menuju puncak”
“Diam. dulu,.. To”
Aku menghentikan genjotanku.
Posisiku masih “di dalam”.
Tangan Tante memeluk erat
punggungku, sementara kakinya mengikat pahaku. Lalu tubuhnya bergerak miring
hendak merobohkan tubuhku. Aku bertahan, tak tahu maksudnya.
“Gantian, To…Tante di atas.”
Baru aku tahu maksud gerakan Tante
ini. Kuikuti gerakannya, tapi..
“Jangan.sampai…lepasss”
Rupanya gerakan robohku terlalu
cepat, sehingga kelaminku sedikit tercabut. Untung Tante cepat mengimbangi
gerakanku, hingga punyaku “masuk lagi”.
Sekarang kami sudah sempurna
berbalik posisi. Tante yang menindihku. Hanya sebentar. Tante lalu perlahan
bangkit mendudukiku. Kelamin kami tak terlepas. Tante mulai bergerak. Aneh,
gerakannya maju-mundur! Rasanya lain pula, tapi sama sedapnya! Dengan posisi
begini gesekannya terasa lain. Kadang diputar, seperti diperas. Kadang Tante
“jongkok”, pantatnya naik-turun, sedap juga.
“Aaaahhhh..kamu..nakal” teriaknya
ketika dia berjongkok membenamkan kelaminku, aku mengangkat pantatku.
Kedua tanganku diraih, dituntun ke
dadanya. Kuremas dada yang tambah licin kena keringat.
Entah sudah berapa lama akhirnya
Tante capek juga. Dia rebahkan tubuhnya. Kupeluk. Kumiringkan, aku ingin di
atas lagi. Tante menurut. Dengan hati-hati kami mengubah posisi, agar jangan
terlepas. Aku berhasil.
“Kamu…udah..pintar..”pujinya.
Dengan posisi di atas aku jadi bebas
menggenjot. Lagi-lagi Tante teriak.
“Terus..To.., Tante…hampir…”
Terus. Tusukanku makin menggila.
Teriakannya makin keras.
Rasa geli datang, dimulai dari ujung
penis, terus menjalar ke seluruh tubuh. Makin geli. Makin cepat aku
menarik-tusuk. Kesemutan…mengambang..melayang..dan…….
“Aaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhh….”
Seeeerrr, denyut-denyut, seeerrr,
bergetar, serrrrr, berguncang..seer. Entah sudah berapa kali seerr, yang jelas
setiap kali keluar aku merasakan kenikmatan yang tak bisa kugambarkan dengan
kata-kata. Begitu nikmat. Aku sampai lupa memperhatikan tingkah Tante. Badannya
telah bergeser ke atas karena ku”dorong” dengan tusukanku. Bantalnya bukan lagi
di kepala, tapi di punggung. Sedangkan kepala terkulai, mata melihat ke atas,
bibir terkatub rapat seluruh tubuh gemetaran. Teriakannya ? Tak perlu
kuceritakan. Agak lama juga aku dan Tante bergetaran begini, merasakan
puncaknya kenikmatan hubungan kelamin…….
Lalu, hanya nafas kami berdua yang
terdengar, seolah berebut mengisap oksigen untuk mengembalikan enerji yang
keluar.
Lalu barangsur pelan, makin
beraturan.
Tante masih “terkapar”
Aku lunglai di atas tubuhnya.
Ini keempat kalinya aku bersetubuh
dengan Tante. Yang terakhir inilah kurasakan sangat berbeda dibanding tiga kali
yang terdahulu. Lebih nikmat, lebih memuncak, lebih lama, lebih banyak aku
mengeluarkan “air” ku, lebih bergetar, pokoknya …..susah diceritakan.
Pengalaman baru tentang rasa nikmat.
Dan lagi, mudah-mudahan pengamatanku
tak salah, Tante begitu menggelepar, mengerang, teriak, berbeda dengan
sebelumnya, Tante kali ini kelihatan “selesai”. Semoga begitu.
“Ooh..To., kamu hebat” Diciumnya
pipiku dengan gemasnya.
“Apanya yang hebat, Tante”
“Kamu betul-betul lelaki” tambahnya
“Memang dari dulu saya laki-laki.
Ini buktinya” Kusodorkan kelaminku, menusuk perutnya.
“Laki-laki yang jantan” diremasnya
penisku dengan gemas.
“Auu” teriakku
“To…luar biasa..” Tak putus-putusnya
ia memujiku.
“Enak engga tadi, Tante ?”
“Wow. bukan main. Sangat!”
Kupeluk tubuhnya. Aku merasa bahagia
sekali.
“Tante sayang..” Aku berbisik
semesra mungkin.
Agak kaget Tante memandangku, lalu
tersenyum. Manis sekali!
“Ada apa ‘yang ?” Wuih, mesra
banget. Tante memanggilku ‘yang’.
“Saya sayang Tante” Kucium bibirnya.
“Hhmmmmmmm” lenguhnya.
“Kalau lama, enak sekali ya Tante”
“Kok kamu tadi bisa lama”
“Engga tahu, Tante. Mungkin karena
tadi ronde kedua”
“Atau mungkin karena kamu udah mulai
pandai”
“Yang pandai gurunya”
“Huuuu” cibirnya sambil mencubit
kontolku. Aku senang.
“Guruku yang cantik”
Dicubitnya hidungku.
“Dan berpengalaman” godaku lagi.
“Aaah, udahlah, To”
Kami diam lagi.
“To.” panggilnya tiba-tiba.
“Ya.sayang”
“Jangan tinggalin Tante, Ya”
“Oo, engga dong. Masa Tante yang
jelita begini mau ditinggalin”
“Tante serius, To”
“Saya juga serius, Tante. Saya
membutuhkan Tante. Saya ingin begini setiap hari, Tante”
“Saya butuh kamu” Nah ini baru
pernyataan. Ini pernyataan baru. Tante membutuhkanku ? Bukankan ia punya suami
?
“Oom Ton gimana Tante”
Tiba-tiba wajah Tante berubah, agak
sedih kulihat.
“Tante….ah engga. Pokoknya kita
harus hati-hati, To. Ingat pesanku ‘kan ? Tante juga senang kita bisa begini
terus. Tapi hati-hati, ya ?”
“Pasti, Tante. Saya akan hati-hati.
Tapi Tante mau kan, tiap hari”
“Nanti kamu bosan”
“Saya sudah bilang, Tarto sayang
Tante. Tarto butuh Tante. Tarto ingin menikmati setiap hari. Tadi Tante bilang
membutuhkan Tarto. Maksudnya gimana Tante ?”
“Iya.sama seperti kamu, Tante juga
ingin setiap hari”
Klop kan ? Keinginan yang sama,
saling membutuhkan, saling memuaskan, dan….saling menyayangi. Apakah ini yang
dinamakan cinta ? Ya, apakah kami saling mencintai ? Aku memang tak ingin
kehilangan Tante, tapi Tante sendiri bagaimana ? Apakah ia membutuhkanku karena
mencintai keponakannya ini ? Atau karena aku baru saja memuaskannya ? Bagaimana
dengan suaminya ? Jangan-jangan ia tak mendapatkan kepuasan dari Oom Ton ? Aku
ingin mendapatkan jawaban dari pertanyaan terakhir ini, tapi mana berani aku
menanyakan langsung kepada Tante. Ah, itu tak penting. Yang penting, aku
sekarang punya kekasih yang luar biasa, yang bisa membuatku melayang-layang di
puncak kenikmatan.
Lelah benar aku malam ini.
Bayangkan, malam ini dua kali aku “bertempur”. Terutama yang terakhir tadi,
permainan lama yang betul-betul menguras tenagaku. Aku sekarang ingin
istirahat.
Masih agak sempoyongan aku bangkit
mengumpulkan pakaianku.
“Mau ke mana To ?”
“Saya ingin tidur, Tante”
“Sudah tidur sini aja, temanin Tante”
“Saya senang sekali Tante, tapi
besok Oom ‘kan pulang ?”
“Paling cepat besok siang” Aku
memperhatikan Tante yang dengan malas bangkit. Tubuh wanita ini memang luar
biasa. Aku benar-benar beruntung mendapatkannya. Masih telanjang bulat Tante
berjalan menuju kamar mandi. Tak lepas mataku menatapnya.
“Kenapa, To” Tante merasa aku tatap
begitu.
“Tante memang indah” kataku sambil
bergantian menatap dada dan ‘rambut’ bawahnya.
“Kamu memang nakal. Sudahlah,
bersih-bersih dulu baru kita tidur”
Di dalam kamar tidur Tante yang luas
ini ada kamar mandi yang luas pula. Ada dua wastafel cermin lebar, bath-tube,
dan tempat untuk mengguyur (douce) yang berpintu kaca agak buram.
Di bath-tube kami saling
membersihkan, Tante menyabun tubuhku sementara aku mengguyur tubuhnya, lalu
gantian. Ah, mesra sekali.
Lalu berdua kami tidur berpelukan
dibawah selimut yang hangat, tanpa pakaian. Tante yang punya ide begini. Enak
juga. Jam dinding menunjuk waktu 11.32. Dua ronde permainan makan waktu hampir
3 jam. Pantas saja aku lelah.
Dengan tergagap aku terbangun.
Dimana aku in ? Tante masih ada di pelukanku. Kulihat sekeliling, ah aku tidur
di kamar pribadi Oom Ton dan Tante Yani!
Ada rasa enak di bawah sana. Ooh,
Tante sedang asyik mengelus-elus penisku yang tegang. Setiap bangun pagi, tanpa
dieluspun penisku memang tegang. Elusan ini yang membuat aku terbangun. Kulihat
jam dinding, pukul 05.17. Ah , sudah pagi, aku harus siap-siap. Tapi Tante
ini..
Tante memandangku, tersenyum,
seperti biasa : manis.
“Punyamu udah keras, To” Buah dada
itu menyembul karena terpepet dadaku. Aku terangsang.
Langsung saja aku raih buah indah
itu. Putingnya sudah keras. Kami berpagutan. Aku ingin tahu kesiapan Tante pagi
ini, tanganku ke bawah sana. Sudah basah rupanya. Mengingat waktu, aku ingin
segera mulai. Tantepun paham.
Kembali aku melakukan ‘pertempuran’
panjang melawan Tante.
Rasanya jalan ke puncak masih lama.
Aku mempercepat “pompaan”ku
Belum juga.
Aku terus melumat bibir Tante,
mencegah “kicauan”nya yang makin keras, khawatir terdengar Mar yang sangat
mungkin sudah bangun.
Ganti posisi
Percepat lagi.
Hampir
Ubah posisi
Akhirnya, aku makin yakin seperti
yang Tante katakan, bahwa aku lelaki tulen, jantan, hebat….
Pagi yang melelahkan sekaligus
menyegarkan……!
Tante memberikan bukti, bukan hanya
janji. Kami bersetubuh hampir tiap hari, kecuali kalau Tante senam. Waktu yang
dipilihnya adalah siang hari, waktu saya baru pulang sekolah, di kamarku. Ini
demi keamanan. Siang hari adalah saat yang paling aman. Saat Si Mar sedang
sibuk bekerja di belakang, Si Luki bermain dengan pengasuhnya di rumah sebelah,
dan saat Oom Ton belum pulang kantor. Siang hari memberikan Tante cukup waktu
untuk membersihkan diri, menghilangkan “bekas”.
Aku jauh dari bosan, seperti yang
dikhawatirkan Tante. Karena aku memang sangat menikmati hubungan ini. Faktor
lain yang membuat aku tak bosan adalah kreativitas Tante. Seperti yang
kukemukakan di awal tulisan ini, ada saja ide Tante untuk membuat kejutan
untukku setiap berhubungan kelamin. Entah itu posisi berhubungan, atau acara
“pembukaan”, tambahan ronde, dan lain-lain yang membuat aku merasa “lain”.
Pernah sekali waktu ketika aku
pulang sekolah, ia sudah siap di dipanku memakai selimutku sebatas dada dan tak
memakai apa-apa lagi di balik selimut itu. Kejutan yang membuatku “terbakar”
Lain kali lagi ia memintaku “masuk”
dari belakang. Bertumpu pada lututnya ia ‘nungging’, aku bermain sambil
memegangi pantatnya yang bahenol itu.
Saat yang lain lagi, kami
‘bertempur’ di atas meja belajarku. Ia duduk di pinggiran meja membuka kaki,
aku ‘masuk’ sambil tetap berdiri.
Pernah juga di kursi belajarku. Aku
duduk di kursi yang dirapatkan ke dinding, ia duduk di atas pahaku berhadapan.
Dengan posisi begini ia bebas “memilih” posisi tusukan kelaminku di vaginanya.
Posisi atau gaya apapun, yang jelas membuat kami berdua menuju puncak bersamaan
atau hampir berbarengan.
Kejutan yang susah kulupakan serta
merupakan pengalaman baru bagiku adalah seperti yang akan kuceritakan di bawah
ini.
Seperti yang sudah-sudah, pulang
sekolah setelah ganti baju, aku langsung menemui Tante meminta “jatah”
bersetubuh. Aku sebut jatah karena kalau malam hari Tante bukan milikku lagi,
tapi jatah suaminya.
Siang itu ruang tengah sepi, Tante
mungkin ada di kamarnya, kulihat pintunya sedikit terbuka. Aku ingin masuk ke
kamarnya, kali ini aku ingin main di kamarnya, karena sejak “semalam 3 ronde”
itu aku tak pernah lagi making love di kamar itu, selalu di kamarku. Kuperiksa
keadaan sekeliling dulu. Aman.
Aku masuk kamarnya. Tante mengenakan
kimono sedang mengikat rambutnya. Kukunci pintu, kupeluk Tante dari belakang,
menggerayangi. Tak ada apa-apa lagi di balik kimono itu.
“Hhmmmmm..sebentar ya ‘yang, Tante
mau mandi dulu”
“Engga usah mandi juga Tante tetap
wangi” kataku terus menjelajahi tubuhnya.
“Entar biar segar. Sabar dulu ya..”
Aku menghentikan aksiku.
“Saya ikut mandi Tante” kataku
bercanda.
“Ayolah, kita mandi bareng” Tak
kusangka Tante menganggapnya serius. Ayo, kalau begitu.
Aku langsung bertelanjang, menuntun
Tante memasuku kamar mandi. Tante membuka kimononya, bertelanjang bulat juga,
masuk ke ruang douce. Tak bosan-bosannya aku memandangi tubuh indah ini,
padahal hampir tiap siang aku menggumulinya.
“Ayo, To” ajaknya.
“Kita main di sini Tante ?” nakalku
timbul.
“Hush, sekarang kita mandi dulu,
kapan-kapan bolehlah”
Tanganku yang bersabun menggosoki
dadanya. Di bagian putting sengaja kutekan-tekan. Tante juga menggosok dadaku
dengan sabun. Lalu perutnya, dan ke bawah lagi. Tangan Tante juga ke bawah.
Diusapnya dengan sabun ‘rambut’ bawahku, kemudian dipegangnya batang kelaminku,
digosok juga. Karuan saja batang itu membesar.
“Hiiiiii, bangunnya cepet bener” Aku
menikmati gosokannya. Tante benar-benar teliti, semua bagian dari alat vitalku
itu dibersihkan dengan sabun lalu diguyur. Enak.
Aku ikut-ikutan. Seluruh bagian
kelaminnya aku bersihkan. Kalau aku lagi menggosok “pintu” kelaminnya, kulihat
mata Tante merem-melek keenakan.
Selesai mengeringkan badan aku
langsung menubruk Tante.
“Heee, jangan disini To, ingat dong”
Oh ya. Siang begini terkadang si Luki suka masuk ke kamar, tentu diikuti si
Tinah. Berbahaya.
Aku berpakaian, hanya pakaian luar
saja, pakaian dalam aku bawa, menyingkat waktu.
“Hiiiii, lucu.” kata Tante
mengomentari tonjolan di celanaku. Tantepun hanya memakai daster, tanpa pakaian
dalam.
Aku masuk kamarku duluan, langsung
berbugil. Sejurus kemudian Tante menyusul, juga langsung bertelanjang bulat.
Kami langsung bersatu, saling raba dan saling pagut. Kali ini mungkin tak ada
kejutan yang dibuat Tante. Atau ya itu tadi, mandi dulu sebelum main. Betul
juga kata Tante, lebih segar.
Aku meringkik kegelian ketika Tante
menciumi pusarku. Ini mungkin kejutannya, tak biasanya Tante begitu.
Tapi, Tante terus ke bawah menciumi
‘rambut’ku. Lebih kaget lagi, tangannya menggenggam kelaminku dan mulai
menciumi barang yang sudah mengeras itu! Bukan main! Geli-geli nikmat. Bahkan..
“Aaaaaaaahhhh” aku mengerang ketika
kepala penisku dimasukkan ke mulutnya!
Luar biasa nikmatnya. Ini rupanya
mengapa Tante begitu teliti membersihkan kelaminku waktu mandi tadi.
“Tante…”
Tante seolah tak mendengar
panggilanku, terus saja asyik melahap barangku. Tante sanggup memasukkan barang
itu hingga separohnya. Sewaktu di dalam, jelas kurasakan lidah Tante ikut
bermain menggelitiki penisku. Woooow sedapnya tak terkira .!
Sungguh ini pengalaman baru bagiku.
Nikmatnya terasa lain. Entah apa yang dirasakan oleh Tante. Kok mau-maunya ia
melakukan ini. Aku sih keenakan. Aku perhatikan bagaimana ia sibuk
mengeluarkan-memasukkan penisku, kepalanya naik-turun berirama.
“Aaaahhhhhhh…hhmmmmmmmm…ssssshhhhhhhh..sed
ap, .. Tante., …Tante..pintar .sekali…” celotehku menahan nikmat. Bagaimana
nanti kalau aku tak mampu menahan diri ? Masa aku menyemprotkan spermaku ke
mulut Tante ? Ah, bagaimana nanti saja, yang penting sekarang….sedaaaaaaaaaap.
Tiba-tiba Tante melepas
“makanan”nya, disapunya barangku dengan kain dasternya yang tergeletak di
dipan. Aku merasa kehilangan sesuatu. Dikeringkan. Lalu…dikulum lagi…!
Nikmaaaaat..
Dilepaskannya lagi, barangkali mau
dilap lagi. Ternyata tidak, badannya digeser sehingga kaki Tante berpindah ke
arah kepalaku.
“To, .. ayo cium, To..”katanya
terengah. Sejenak aku bengong tak mengerti permintaannya.
“Kamu cium ini…” katanya kemudian
sambil menunjuk ke selangkangannya. Okey, Tante, toh aku sudah sering mencium
‘rambut-rambut’ halusmu itu. Aku mulai mencium.
“Ke bawah lagi, dong To..” Ke bawah
? berarti disitunya ? Hal baru, kenapa tidak ?
Kucium tonjolan kecil yang sudah
keras itu. Asin rasanya.
“Aaaaaaaahhhhhhhh, sedap To, terus…”
Kini lidahku yang menyapu-nyapu
pintu dan tonjolan tadi
“Yaaaahhh. yaaaaaa…begitu enak…”
katanya sambil mulutnya menyergap lagi batang kelaminku.
Ada cairan yang asin rasanya.
Di kemudian hari aku baru tahu bahwa
yang sedang aku dan Tante lakukan sekarang ini namanya “posisi 69″
Dalam mengulum ini Tante pintar
sekali, banyak variasinya. Keluar-masuk, kadang menyedot-nyedot, bermain lidah,
sesekali menggigit (aku langsung teriak).
Akupun diajarinya bermain.
Menggelitik ‘lubang’ dengan lidahku, menggigit kelentitnya (pelan, tentu saja),
menyapu bibirku ke “bibir”nya.
Asyik juga bermain seperti ini.
Masing-masing sibuk, masing-masing merasakan nikmatnya.
Entah sudah berapa lama kami bermain
begini. Untung saja aku berhasil menahan diri untuk tidak keluar. Aku sekarang
memiliki ketrampilan baru untuk mengontrol diri, mengatur diri kapan saatnya
‘keluar’. Kalau tidak, masa aku menyiram mulut Tante dengan maniku.
Sampai akhirnya….
“Ayo, To….sekarang.To….”
Aku memutar tubuhku, sementara Tante
rebah terlentang membuka kakinya, siap menerima tusukanku.
Aku masuk dengan gemas.
Tante menerima dengan antusias.
Untuk kesekian kalinya kami saling
menggenjot.
Bersama menuju puncak.
Berbarengan menggelepar.
Sudah itu
Sama-sama lemas
Sama-sama puas.
Oh, betapa bahagianya aku.
Kebutuhan lahir dan batin terpenuhi.
Kurang apa lagi ?
***
Tak ada yang kurang pada diri Tante.
Cantik, putih, tubuh bagus, permainan di tempat tidur luar biasa, dan kreatif.
Kreativitas Tante tercermin dari cara bersetubuh. Ada saja yang dilakukannya
yang membuatku merasa bersetubuh dengan orang baru. Selalu ada hal baru dalam
setiap permainannya. Sejak Tante memperkenalkan “posisi 69″, aku selalu minta
dikulum penisku sebagai acara pembukaan. Tante juga amat menikmati permainan
lidahku di vaginannya.
Seperti biasa sepulang sekolah aku
mendekati Tante untuk melaksanakan ‘tugas’ rutin, bersetubuh.
Aku sudah membuka resleting
celanaku, mengeluarkan penisku yang tegang di dekat Tante yang sedang duduk di
tepi ranjang, masih berpakaian lengkap, di kamar Tante yang sudah kukunci. Yah,
semacam pemberitahuan bahwa aku sudah siap. Tapi tante menyambut dengan dingin,
tak seperti biasanya. Ia hanya mengelus-elus. Ketika dengan kurang ajar aku
mendekatkan kelaminku ke mulutnya, ia hanya mengecup lembut kepalanya, tidak
dikulum seperti biasanya, paling-paling hanya menggenggam.
“Tante engga bisa sekarang, To”
“Kenapa Tante ?”
“Tante lagi …itu..”
“Lagi apa, Tante ?”
“Lagi mens.”
“Mens ? Apa itu Tante ?”
“Kamu engga tahu ?”
“Bener, Tante. Saya sungguh engga
tahu” Memang aku tidak tahu.
“Begini, setiap bulan wanita yang
sudah dewasa mengalami masa menstruasi. Wanita yang normal pasti mengalami”
Lalu Tante memberiku kuliah tentang
menstruasi itu. Bahkan ditunjukkannya kepadaku celana dalamnya yang berbalut
itu.
“Kalau begitu, besok saja ya, Tante”
pertanyaan bodoh memang.
“Engga bisa To. Masa mens biasanya
sekitar seminggu. Tapi kalau Tante sekitar 4 - 5 hari.”
Wah, menunggu 4 - 5 hari, mana tahan
?
“Tapi Tante, saya ingin …”
“Engga, To. Sabar aja ya, yang…”
Aduh, pusing juga aku, keinginan
sudah sampai ke kepala.
“Bagaimana kalau begini saja
Tante..” Kataku sambil menempelkan penisku ke bibir Tante, minta dikulum.
“Engga bisa juga, To. Itu namanya
kamu egois. Kamu bisa puas, tapi kalau Tante terangsang, gimana ?” Benar juga
kata Tante.
“Maafkan saya, Tante. Saya
sungguh-sungguh belum tahu” kataku sambil memeluknya dengan mesra.
“Engga apa-apa, To. Tante maklum”
Dimasukkannya penisku, celana
dalamku dibetulkan letaknya, lalu ditutupnya resleting celanaku. Mesra sekali.
“Awas, ya. Jangan cari sasaran lain”
katanya.
Kucium kedua belah pipi Tante,
dengan mesra juga.
“Engga dong, Tante. Emangnya apaan.”
Ternyata ada yang belum aku ketahui
tentang wanita
Sekarang masalahku, mana bisa aku
menunggu 4 - 5 hari tanpa bersetubuh, setelah hampir tiap hari menikmati.
Pulang sekolah agak kaget aku
mendapati Tante duduk di sofa, membaca. Kucium pipinya.
“Engga senam, ‘yang ?”
“Engga, lagi banyak-banyaknya”
“Apanya yang banyak ?”
“Ah, kamu. Ya mens-nya” Aku
mengerti. Tapi berarti hilang juga kesempatanku siang ini menyatroni mBak Mar.
Paling tidak aku harus menunggu 2 hari lagi, jadwal senam Tante berikutnya,
atau menunggu sampai Tante “bersih”.
Malamnya, terkantuk-kantuk aku menunggu
Oom Ton dan Tante masuk kamar. Pukul 10.15 mereka masih asyik menonton TV. Aku
masuk kamar duluan, gelisah. Setengah jam berikutnya kudengar TV dimatikan,
lampu tengah juga, lalu kudengar suara pintu ditutup dan dikunci.
Sengaja aku datang ke sekolah lebih
pagi. Hari in ada ulangan Fisika dan aku merasa belum siap. Di rumah aku tak
bisa konsentrasi belajar, ingatanku ke Tante melulu. Apalagi sekarang udah
beberapa hari aku tak bersetubuh, pusing aku, mana bisa belajar di rumah. Pagi
ini kesempatan terakhirku untuk belajar Fisika menghadapi ulangan nanti. Belum
banyak kawan yang datang, cuma ada Tono, Edi dan Rika yang lagi ngrumpi. Dito
belum nongol. Aku ambil bangku paling belakang, mojok, lalu mencoba
berkonsentrasi. Lumayanlah dalam setengah jam aku bisa memecahkan soal-soal
yang kuperkirakan akan keluar nanti. Juga beberapa rumus sempat “masuk’ ke
otakku, sampai seseorang datang menghampiriku dengan senyuman yang amat manis.
Yuli memang manis, apalagi kalau
senyum. Masih ingat dengan Yuli, pembaca ? Yuli teman sekelasku yang
kugambarkan badannya biasa-biasa saja, dadanya menonjol wajar dan wajahnya
manis. Akhir-akhir ini kami makin akrab, sebatas dalam pelajaran lho! Sering
saling meminjam buku catatan, diskusi soal-soal PR, atau cuma ngomongin
guru-guru. Makin dekat kurasakan Yuli makin menarik, dadanya makin menonjol
aja. Aku sudah berada di pelukan Tante sih, jadi aku kurang memperhatikan Yuli.
Entah ini hanya ge-er saja, kulihat Yuli begitu ceria kalau berdekatan
denganku.
“Rajin bener. belajar Fisika ya..?”
tegurnya sambil duduk di sebelah kananku.
“Ah engga. Justru karena aku males,
baru sempet belajar sekarang” sahutku
“Pinjam catatan Matematiknya dong
Tar”
“Matematik ? Kan entar ulangan
Fisika”
“Iyyaa. Tapi kemarin gua engga
sempet nyatet jawaban soal kemarin”
Aku ulurkan buku Matematik, sambil
memgang tangannya. Yuli membiarkan tanganku meremas tangannya, meskipun
kemudian dia tarik tangannya, without any words. Tanda “penerimaan”. Tangannya
halus bener .. Lalu dia dengan serius memelototi catatanku itu. Anak ini memang
serius banget kalau belajar. Mataku tak lepas memperhatikannya. Dia mungkin
tahu aku melihatnya, tapi pura-pura tidak tahu. Ah .. Ini dia. Di sela-sela
kancing bajunya, aku sempat “mencuri” keindahan sebelah buah yang tumbuh di
dadanya. Hanya sedikit sih, tapi cukup membuatku “berdiri”.
Apalagi daging itu terlihat sedikit
naik-turun seirama tarikan nafasnya. Ah seandainya ..khayalanku melayang
tinggi. Kuperiksa keadaan sekeliling. Masih sepi, memang masih pagi sih. Hanya
ada 2 kawan yang tadi, lagi asyik menulis. Sekaranglah waktunya! Toh 2 teman tadi
menghadap ke depan kelas, tak akan melihat bila aku “menggarap” Yuli.
Segera saja tangan kananku merangkul
bahu Yuli. Tak ada reaksi. Aksi kuteruskan dengan memegang dagu dan menariknya.
Mata Yuli sedikit membelalak, agak kaget mungkin, tapi tak ada tanda-tanda
penolakan. Ah. bibir merah membasah yang menggairahkan. Kucium bibirnya. Dan …
Yuli membalas ganas ciumanku..!
Tanganku mulai membuka kancing baju
putih itu, lalu empat jariku menyusup ke balik BH-nya. Halus, padat, dan
lumayan besar. Aku meremas. Yuli melenguh. Jariku mencari-cari putingnya. Mengeras.
Tangannya kepangkuanku. Meremas juga. Sambil masih berciuman, aku melirik dua
temanku tadi, mereka masih tak acuh sibuk sendiri. Aman!
Bibirku menelusuri lehernya yang
licin, terus kebawah. Kancing bajunya sudah terbuka semuanya. Kulepas baju
seragamnya, lalu kudorong Yuli hingga rebah di bangku sekolah!
Aku menindihnya hingga tubuh kami
“lenyap” dari pandangan teman-teman tadi kalau mereka menengok ke belakang.
Kuciumi habis-habisan kedua bukit perawan itu. Aku yakin bukit kembar ini belum
tersentuh oleh “pendaki” manapun. Keras, dan padat. Aku tak sanggup menahan
lagi. Walaupun pakaianku masih lengkap nempel di badan, tapi meriamku sudah
nongol tegak dari rits celana, siap. Kusingkap rok abu-abu itu jauh-jauh ke
atas. Kupelorotkan celana dalam krem-nya…
Amboi … bulu-bulu halus, merata di
seluruh permukaan kewanitaanya.. Luar biasa.. Masa aku kerjain di sini, di
kelas ? Biar saja. Kalau nanti ketangkap basah gimana ? Peduli amat. Kalau
sudah begini, mana bisa “delay”, apalagi “cancel”. Lagi pula Yuli sudah
merintih-rintih sambil membuka pahanya agak lebar. We got the point no return!
Mulai sekarang ? Ya, tunggu apa
lagi. BH-nya masih nempel. Biar saja, tak ada waktu lagi. Kutempatkan penisku
ke “tempat yang layak”. Menyapu-nyapu sebentar di seputar pintu-basahnya, lalu
mulai menusuk.
“Uuuuhhhhhh ..” Yuli melenguh.
Mentok. Padahal baru “kepala”ku yang
tenggelam. Tusuk lagi dengan menambah tekanan.
“Aaaahhhhh .pelan ..pelan ..sakiiit…”
Desahnya pelan dan terbata-bata.
Buset! Susah bener. Vagina yang satu
ini sempit benar. Apa betul, Yuli masih perawan .? Mungkin juga. Sebab biasanya
kalau sama Tante Yani tusukan begini sudah mampu mencapai “dasar”.
Aku tusuk lagi lebih kuat, bahkan
sekuat tenagaku. Dan …..
“Heh! ngelamun aja!”kudengar suara
agak membentak. Suara Yuli!
Aku tersadar.
Aku kembali ke alam nyata.
Kembali dari lamunan nakal.
Lamunan bersetubuh dengan gadis yang
duduk di sebelahku ini.
Gadis yang baru saja mengagetanku!
Ah.sialan. Kenapa aku begini ?
Gara-gara mengintip sedikit buah
Yuli, aku jadi melayang..
Hari berikutnya aku kurang
beruntung. Tante ada di rumah mengajakku ngobrol. Hanya ngobrol. Sayang sekali
tubuh molek ini belum bisa “dipakai”. Sembulan dada bagian atas Tante dan
sedikit belahannya cukup membuatku kepingin.
“Tante…” panggilku dengan suara
serak”
“Hmm ?”
“Saya pengin, Tante”
“Kamu itu, engga sabaran, engga
pernah puas”
“Bukan begitu, Tante. Saya puas,
puas sekali. Cuma ketagihan, habis enak sih. Udah biasa setiap hari…”
“Sabar, dong” katanya sambil
menggenggam selangkanganku.
“Eh, udah keras..” katanya lagi.
“Iya, Tante. Saya siap setiap saat”
kataku meniru iklan
“Dasar…….! Dua hari lagi”
“Lama bener..”
Besok siangnya lagi, ada kejutan
baru untukku. Tidak bersetubuh sih, tapi menyenangkan.
Tante sedang duduk di sofa menyulam.
Begitu datang aku langsung menyingkirkan kain sulamannya, lalu kucium pipi dan
kemudian bibirnya. Aku langsung tahu bahwa dibalik gaun merah jambu, warna
kesukaannya, Tante tak memakai BH.
“Mandi dulu sana, To”
“Udah bisa, Tante ?” tanyaku cerah.
“Ih, kesitu aja pikiranmu. Belum,
belum bersih” jawabnya sambil menuntun tanganku ke bawah perutnya. Masih ada
pembalut di sana.
“Jadi, gimana dong Tante” kuremas
dadanya yang tak berkutang.
“Pokoknya kamu mandi dulu”
Aku mandi dan mengganti baju dengan
penuh harap, barangkali ada kreativitas baru dari Tante.
Aku keluar kamar. Ini dia
kejutannya. Tante masih duduk di situ, hanya kancing gaunnya telah dibuka
sampai perut, mempertontonkan sepasang buah dada yang mengagumkan. Luar biasa.
Berani benar Tante ini, bertelanjang dada di ruang tengah. Jelas belum bisa
bersetubuh, tapi kelakuan Tante ini menandakan ada permainan apa lagi nih.
Langsung saja kuserbu buah dada itu.
“Eeeeehhhhmmmmmm” Dengan gemasnya
aku mengacak-acak buah indah itu dengan mulut dan tanganku.
Belum puas aku bermain dengan dada,
Tante mendorongku sampai aku berdiri di depannya. Lalu.Tante membuka kancing
jeans-ku!
“Tante… Si Mar nanti…..”
“Engga ada, lagi pergi…”
Dibukanya resleting celanaku,
diturunkannya celana dalamku, lalu dikeluarkannya penisku yang langsung tegang,
digenggam pangkalnya, terus diciumi ‘kepala’-nya, lalu masuk mulutnya!
Ooooohhh, nikmat sekali permainan
baru ini. Suasana baru. Bayangkan. Di ruang tengah, berdua masih berpakaian,
aku hanya mengeluarkan kelaminku, Tante mengulumnya dengan bertelanjang dada!
Oh, indahnya dunia ini.
“Ooohhhhhhhhh, Tante, …sedaaaaappp.”
Kepala Tante bergerak maju-mundur,
sangat perlahan. Terasa sekali bibirnya menjepit dan bergerak menelusuri
permukaan penisku.
“Tante..Tante…enaaaaaaaak, Tante..”
Tante terus saja. Tanganku dituntun
ke buah dadanya. Aku sampai lupa diri tak berbuat apa-apa pada Tante. Habis
sedap sekali sih!
Kedua tanganku meremasi sepasang
buah kenyal itu. Tante terus bekerja. Geli, Tante…!
Ya, geli. Aku hampir ke puncak.
Entah mengapa kali ini aku cepat mendaki. Mungkin karena pintarnya bibir dan
lidah Tante merayapi permukaan kulit kelaminku, atau karena suasana yang aneh
ini.
Aku tak mampu menahan lebih lama
lagi.
Tante rupanya tahu kalau aku hampir
sampai, ia mempercepat gerakannya. Bagaimana kalau keluar, aku tak tega kalau
sampai menumpahi mulut Tante dengan spermaku.
Segera..ya..segera sampai….
Dilepasnya kulumannya, tangannya
yang memegang sapu tangan secepat kilat menutupi kelaminku dan digenggam.
“Aaaaaaaaaahhhhhh” sambil berteriak
aku muncrat. Sedaaaaaaap.
Tante meremas.
Muncrat lagi, enak, meremas lagi,
muncrat, nikmat, remas, sedap, muncrat, remas….
Beberapa detik aku terbang, kakiku
goyah, lalu mendarat ditubuh Tante. Kucium mulutnya. Masih ada muncratan lagi,
tertampung di saputangan. Ada lagi, makin sedikit…..
Beberapa saat aku masih menubruk
Tante, ia masih menggenggam dengan saputangan.
“Terima kasih, Tante…”
“Enak, To ?”
“Sedaaaaaaap, Tante. Tapi lebih
nikmat ke sini…” jawabku sambil memegang benda yang masih berpembalut itu.
“Masih pusing ?”
“Hilang, Tante. Lepas sudah…”
Keteganganku memang lepas.
“Tante sendiri, gimana dong, Tante
?”
“Engga apa-apa. Ini ‘kan cuma
membantu kamu”
Kupeluk lagi Tante lebih erat. Aku
makin sayang saja sama Tanteku ini.
“Terima kasih, Tante. Tarto makin
sayang sama Tante” kataku jujur.
“Sudah, cuci dulu sana. Ih,
banyaknya….”
“Iya, habis sudah tiga hari engga
keluar.”.
Sejak peristiwa ‘penguluman di ruang
tengah’ kemarin itu aku jadi makin berani ‘kurang ajar’ kepada Tante. Seperti
siang ini. Waktu Tante sedang duduk membaca di ruang tengah, aku mendekatinya
dari belakang dengan kelaminku sudah kukeluarkan, terjulur kutempelkan di pipi
Tante.
“He, ngawur kamu.!” Tante kaget.
Ditariknya punyaku.
“Aauuu” aku teriak.
“Masukkin, engga aman!”
“Iya Tante, saya tahu. Cuma
bercanda”
Di hari berikutnya Tante membalas.
Sewaktu aku sedang makan siang
sendiri, Tante mendekatiku, sangat dekat sehingga perutnya hanya berjarak
beberapa senti dari pipiku. Kucium bawah perutnya. Lalu Tante meraih tanganku,
dimasukkan ke balik gaunnya, langsung vaginanya terpegang. Tak ada celana dalam
di balik gaun Tante.
“Sudah bersih, Tante ?”
“Sudah..”
Kuangkat gaun itu sehingga ‘rambut’
yang menggemaskan itu nampak. Aku langsung tegang, berarti siang ini bisa. Aku
langsung berdiri meninggalkan makanku, memeluknya.
“Tunggu dulu” kata Tante sambil
mendorongku terduduk kembali.
“Kali ini Oommu dulu, ya..” Katanya
sambil meninggalkanku masuk ke kamarnya. Kurang ajar! Oom Ton ada di kamar.
Seharusnya aku tahu, mobilnya ada di garasi. Tante masih sempat melihatku
sambil tersenyum, sebelum ia mengunci kamar.
Aku makin tegang ketika setengah jam
kemudian lamat-lamat mendengar suara erangan Tante dari kamar..
Aku masuk kamar, tak tahan di situ.
Tante sudah selesai mens-nya,
seharusnya siang ini ia milikku. Tapi Oom Ton merebutnya. Merebut ? Memang Oom
Ton pemilik sah.
Aku gagal mencoba berkonsentrasi
membaca Fisika, besok ulangan. Bayangan Tante disetubuhi suaminya yang muncul.
Ah, sialan..
Setelah mencoba menyadari posisiku,
aku jadi agak tenang. Aku ‘kan hanya kemenakannya yang dibantu, lahir dan
batin, kenapa musti sewot ? Kelaminku mulai surut.
Tapi itu tak lama.
Tiba-tiba Tante masuk, langsung
mengunci pintu kamarku. Disodorkan buah dadanya ke mulutku. Buah itu masih
berkeringat, juga wajahnya. Tak peduli. Aku serbu dada itu, masih duduk di
kursi belajarku. Kelaminku langsung membesar lagi. Tante dengan tergopoh-gopoh
membuka resleting celanaku, mengeluarkan isinya yang sudah keras menjulang. Ia
melangkah naik ke pahaku. Mengarahkan kelaminku ke vaginanya, dan….blessss aku
langsung masuk…! Gila! Tanpa pemanasan dulu Tante langsung main. Di kursi lagi.
Untung aku cepat siap. Jadilah kami ‘berkudaan’ di kursi. Tante semangat sekali
nampaknya. Dengan posisi berpangku berhadapan ia di atas, Tante leluasa
mengeksplorasi penisku. Aku lebih pasif. Hanya kadang-kadang saja menusuk,
soalnya berat, harus mengangkat tubuhnya dengan pinggulku.
Edan! Setengah jam yang lalu aku
mendengar Tante mengerang di kamarnya bersama Oom Ton, sekarang ia berkudaan
denganku, sementara suaminya (mungkin) sedang pulas di kamar sebelah!
Seakan ia tak ada puasnya. Atau
jangan-jangan ia belum puas dengan suaminya lantas melanjutkan di sini ? Hanya
Tante yang tahu. Betapa trampilnya ia menggenjot. Vaginanya begitu menjepit dan
mengurut penisku, berulang-ulang. Begitu rupa ia menstimulasi kelaminku,
membuat aku cepat naik. Geli sekali. Makin cepat dia, makin geli aku. Tiba-tiba
tangannya mencekram kepalaku kuat sekali. Tubuhnya bergetar hebat, mengejang.
Di dalam sana berdenyut-denyut. Bahuku digigitnya. Getaran tubuhnya makin
hebat, lalu mendadak berhenti menggenjot. Mengerang. Tante sedang melayang di
puncak..
Akupun hampir sampai. Aku sekarang
yang menggenjot. Tante teriak. Vaginanya menjepitku teratur menandakan Tante
telah orgasme. Aku tak peduli, sebab aku belum, cuma hampir sampai, terus
menggenjot. Tante masih mencekeram erat, secara pasif mengikuti gerakan
tusukanku yang naik-turun, lalu…akupun mengejang, melepas. Heran, Tante
mengerang lagi, seharusnya aku yang teriak. Tante ikut menikmati ejakulasiku.
Sejurus kemudian kami diam, masih
berpelukan, Tante belum mencabut. Hanya nafas kami berdua yang masih
berkejaran.
“Tante hebat…” aku membuka
percakapan
“Apanya yang hebat, justru kamu yang
hebat. Tante tadi ‘kan duluan”
“Ah, kita hampir bersamaan kok tadi”
“Jadi apa maksudmu hebat”
“Tante bisa dua kali berturutan”
“Ooh itu, engga juga sih..”
“Tadi saya mendengar, waktu Tante
sama Oom”
“Ah, masa.?”
“Iya, Tante mengerang, saya jadi
ngiri.”
“Kan kamu dapat juga”
“Itulah makanya Tante bisa dua kali”
“Kamu juga bisa dua kali, waktu
malam itu.”
“Iya, tapi ‘kan ada jarak waktu”
“Sebenarnya Tante tadi cuma sekali”
“Yang benar, Tante. Barusan Tante
‘kan sampai puncak..”
“Iya. Cuma itu. Sama kamu”
“Tadi sama Oom..” aku mulai
menyelidik tentan hubungan Oom dan Tanteku ini.
Tante diam saja.
“Kok diam, Tante” aku benar-benar
ingin tahu.
“Ini kan masalah Tante dengan
Oom-mu, rahasia dong”
“Please, Tante, cerita dong. Tante
kan isteri ku juga” buah dadanya kucium, putingnya masih keras.
“Kamu engga usah tahu”
“Ayolah, Tante”
Tante diam lagi agak lama. Lalu….
“Sama Oommu Tante belum sampai …..”
Kaget juga aku. Jadi, tak berhasil orgasme dengan suaminya lalu melanjutkan
denganku.
“Ah masa, Tante”
“Itulah kenyataannya, To. Oom-mu
engga bisa memuaskan Tante”
Mungkin inilah sebabnya, Tante tiap
siang tak menolak aku setubuhi, bahkan menikmati.
“Pantesan……”
“Pantesan apa ?” tanya Tante
“Tadi Tante langsung masuk, engga
pemanasan dulu”
“Tante tadi senewen, To. Ada rasa
menggantung, ada yang harus dituntaskan”
“Untung saya tadi udah siap”
“Sory ya To…”
“Engga apa-apa, Tante. Saya tadi
juga puas. Cuma lebih nikmat kalau pemanasan dulu”
“Kamu harus mulai terbiasa begini,
To. Seperti yang Tante bilang dulu, Tante butuh kamu. Jangan kaget kalau
tiba-tiba Tante pengin. Tante harus mencapai orgasme. Kalau tidak Tante bisa
gila..”
“Saya siap, Tante, Betul. Kapanpun
Tante butuh saya, silakan saja Tante. Saya juga menikmatinya, Tante. Tanpa
pemanasanpun saya engga apa-apa. Tadi saya bilang begitu, itu hanya akan lebih
nikmat kalau dengan pemanasan. Kalau tidakpun engga apa-apa”
“Syukurlah, To. Pemanasan gimana
yang kamu inginkan, To ?”
“Seperti inilah Tante” jawabku
sambil menciumi dadanya.
“Itu kalau kita sempat. Kalau kaya
tadi, gimana ?” tanyanya lagi.
“Kan saya siap, Tante”
“Iya sih. Maksud Tante supaya kamu
lebih nikmat, kamu perlu pemanasan”
“Yang biasanya kita lakukan sudah
dengan pemanasan ‘kan. Cuma tadi saja, yang tidak” jawabku sekenanya.
Pertanyaan Tante sulit kujawab.
“Waktu kamu denger Tante sama Oom
tadi, kamu gimana”
“Saya terangsang, Tante”
“Okey, Tante ada ide buat pemanasan
kamu, To. Tapi ide gila, mungkin”
“Silakan, Tante. Saya senang sekali.
Tante kreatif, saya menikmatinya”
‘Jangan kaget, ya. Kamu tahu kamar
si Luki ?”
“Tahu Tante” kamar Luki bersebelahan
dengan kamar Tante.
“Disitu kan ada pintu yang tembus ke
kamar Tante”
“Saya engga perhatikan, Tante”
“Kalau kunci pintu itu Tante cabut,
kamu bisa lihat ke kamar Tante dari lubangnya….kamu ngerti apa yang Tante
maksud ?”
“Belum, Tante”
“Lubang kunci itu lurus ke tempat tidur..”
Amboi. Berarti, kalau aku mengintip
lewat lubang itu, aku bisa lihat kejadian tempat tidur Tante. Hubungannya
dengan pemanasan, berarti….hebat, ide yang hebat. Kucium bibir Tante dengan
gemas.
“Ide brilian! Setuju banget tante!”
kataku gembira.
“Ntar dulu, setuju apa ?”
“Aku akan mengintip Tante sama Oom,
sebagai pemanasan”
“Kamu cerdas. Menurut kamu ini gila,
engga”
“Engga! Saya mau Tante. Kita coba
nanti malam ya.?”
“Semangat banget”
“Pengalaman baru” Aku sangat ingin
melihat bagaimana Tante melayani Oom, bagaimana permainan Oom Ton!
Tante diam lagi. Hanya sekejap,
lalu.
“To, Tante ingin main sama kamu di
tempat terbuka…” kaget lagi aku. Tempat terbuka ? Aneh. Ini sih hebat banget.
Aku ingat kemarin, Tante mengulumiku di ruang tengah. Nikmat.
“Ide Tante memang hebat-hebat. Saya
suka Tante. Tapi aman engga ?
“Itu masalahnya”
“Kita cari kesempatan, Tante. Pasti
nikmat deh”
Tante pelan-pelan bangkit, melepas.
“Eeeeeeeeeehhhhhhhhh” lenguhnya
mengiringi pencabutan ini.
Di pintu kamarku Tante nengok
kanan-kiri sebelum keluar. Aku ke kamar mandi.
Selesai dari kamar mandi aku lihat
kamar Luki, kosong. Luki sedang dibawa pengasuhnya keluar. Pelan-pelan aku
masuk, hati-hati pintunya kukunci. Ini dia pintu penghubung tadi. Aku
mengintip. Tak melihat apa-apa, kuncinya masih menggantung. Aku kecewa.
Kuncinya hanya bisa dicabut dari arah kamar Tante. Ia harus membantuku. Aku
mencari Tante, lagi di kamarnya. Lebih baik aku makan dulu sambil menunggu
Tante keluar.
Benar, Tante keluar, segar sekali
nampaknya.
“Tante, cabut dulu kuncinya, saya
mau coba” bisikku. Tante tersenyum, masuk lagi ke kamarnya.
Dari lubang kunci di kamar Luki aku
bisa melihat dengan jelas dari arah kaki, Oom sedang tidur pulas, hanya
bercelana tidur. Kubayangkan, dari arah bawah ini aku akan bisa lihat kelamin
mereka berdua, baik posisi ‘biasa’, Tante di bawah, atau Tante di atas. Cerita
Dewasa Tante - Kecuali kalau mereka memutar posisi dengan kakinya ke arah
bantal, aku hanya bisa melihat kepala mereka, paling-paling dada Tante.
Malam itu sekitar pukul 10, aku
sudah berada dalam kamar Luki yang sudah pulas. Dari lubang kunci aku lihat
mereka sedang membaca. Hanya sekali-sekali mereka bicara. Oom Ton mengenakan
pakaian tidur lengkap, Tante memakai daster. Aku menyadari sebenarnya berbahaya
aku disini. Bisa saja tiba-tiba Oom membuka pintu ini untuk melihat anaknya.
Jadi setiap Oom bangkit, aku harus siap-siap. Kalau Tante sih, aku engga perlu
bereaksi. Tegang juga aku.
Ah, ternyata Tante juga berpakaian
‘lengkap’. Sekarang aku bisa dengan jelas melihat celana dalam merah jambu itu,
karena Tante mengangkat sebelah kakinya. Kecil kemungkinannya mereka akan main
malam ini. Cerita Dewasa Tante - Setengah jam aku capek menunggu, Oom
mematikan lampu baca, lalu tidur. Kamar itu walaupun hanya diterangi lampu
tidur, tapi cukup jelas aku bisa melihat tubuh mereka.
Dengan kecewa aku kembali ke kamar
dan tidur….
Esok siangnya, ketika kami baru saja
melaksanakan ‘tugas’ nikmat dan masih terlentang berdua tanpa busana,
kutanyakan pada Tante tentang semalam aku tak jadi menyaksikan ‘pertunjukan’
Tante dan Oom main.
“Yaa.itulah To, Oom-mu memang jarang
meminta, paling dua kali atau bahkan cuma sekali seminggu. Makanya Tante butuh
ini” jawabnya sambil mencekal kelaminku.
“Kenapa engga Tante yang minta”
“Ah, Tante ‘kan melayani Oom-mu”
“Tak ada salahnya Tante yang mulai”
“Betul, memang. Tapi, sering Tante
malah kecewa. Oom-mu kan hobinya kerja, jadi mungkin capek. Lebih baik Oom-mu
yang mulai, itu artinya dia betul-betul butuh”
“Sayang, memiliki badan sebagus ini
tak optimal dimanfaatkan” kataku sambil mengelus buah dadanya. Tak bosan-bosannya
aku pada buah kembar yang indah ini.
“Sekarang sudah optimal”
“Ya. Dan sayalah yang beruntung”
“Tante juga beruntung punya kamu”
Kamipun berpelukan erat. Kalau sudah
begini, aku bisa lupa semuanya. Lupa pada Yuli, Rika, atau mBak Mar.
Aku berguling, jadi menindihnya.
Pahaku mendesak di antara pahanya.
Penisku mencari-cari.
Dan….aku masuk lagi.
“Heeeeh!’ Tante teriak kaget.
Aku mendorong.
“Eeeeeeeehhhhhh” lenguhnya. Sekarang
ia tak kaget lagi.
Aku menarik dan mendorong.
Aku menikmati.
Tante juga.
Aku tak ingat bahwa ia tanteku.
Tante lupa bahwa aku kemenakannya.
Bahkan lupa bahwa kami berdua
manusia.
Begitu ‘gila’nya kami bermain, kami
lebih mirip hewan.
Hewan yang sedang menikmati
reproduksi.
Reproduksi bukan untuk mendapatkan
keturunan, cuma untuk kenikmatan.
Dan..kenikmatan kami dapatkan secara
bersamaan.
Gila! Sesiang ini kami telah dua
kali bersetubuh!
Memang edan
“Edan kamu, To…” komentar
sesudahnya.
“Supaya optimal, Tante..” komentarku
juga.