Beberapa tahun yang lalu aku bertemu
dengan calon suamiku, seorang dokter muda yang baru mulai praktek. Ketika ia
mulai mengunjungi rumahku, dan mulai menunjukkan minatnya terhadapku, kedua
orang tuaku menunjukkan rasa senangnya. Maklumlah siapa yang tidak mau punya
menantu seorang dokter. Apalagi mas Heru adalah dokter yang sedang mulai ‘naik
daun’ di kota kediamanku. Tapi untukku dia orangnya terlalu serius, dan selalu
berbicara tentang pekerjaannya. Seolah-olah tidak ada hal Ketika mas Heru
datang di dampingi kedua orang tuanya, lalu ayahku menanyakan kesediaanku untuk
dilamar mas Heru, pada waktu itu rasanya tidak ada jalan lain kecuali
menerimanya. Pesta pernikahanku memang cukup meriah, terutama untuk ukuran kota
kecilku. Tidak lama setelah itu mas Heru, yang telah dipindah-tugaskan ke kota
Bandung, memboyongku ke tempat kediamanku yang baru.
Benar saja ternyata tepat apa
seperti apa yang telah kuperkirakan. Di kota Bandung aku kesepian dan segera
merasa jenuh. Teman-temanku belum banyak, sedangkan mas Heru terlalu larut
dalam tugas-tugasnya. Nikmatnya kehidupan perkawinan, seperti yang pernah
digambarkan kakak-kakakku, ternyata tidak kualami. Bukan hanya secara sosial
lingkungan mas Heru terasa begitu membosankan, kehidupan seksualku dengannya
juga terasa hambar.
Dalam keadaan hampir tidak tahan
lagi seorang wakil perusahaan farmasi, yang kebetulan menjadi relasi suamiku,
datang mengunjungiku. Dimintanya kesediaanku untuk menjadi agen penyalur
obat-obatan produksi perusahaannya. Katanya menurut pengamatannya aku orangnya
supel, lincah dan cantik, bahkan kelihatannya mempunyai bakat untuk meyakinkan
orang lain dengan mudah. Dengan ‘training’ dan dukungan teknis perusahaannya
aku akan mampu mengembangkan usaha sebagai penyalur obat-obatan. Karena
tertarik kuminta ijin suamiku. Pada mulanya ia nampak keberatan, tapi setelah
kurayu terus-menerus akhirnya mas Heru setuju juga. Katanya aku boleh mencoba
usaha baru ini, dengan syarat tidak memasarkan obat-obatan yang kuageni di kota
Bandung. Berarti dengan demikian aku harus mau melakukan kegiatan-kegiatan
‘marketing’ku di kota-kota lainnya, walaupun masih di sekitar Bandung juga.
Setelah membuat kalkulasi yang cukup
mendalam, aku putuskan untuk mulai melangkah. Kusewa sebuah ruko agak besar di
Jalan Soekarno-Hatta, supaya dapat dijadikan kantor sekaligus gudang. Aku
sendiri yang melakukan perjalanan-perjalan untuk pemasaran, malah kadang-kadang
sampai berhari-hari. Tanpa diduga hanya dalam tempo enam bulan kegiatanku sudah
menampakkan tanda-tanda keberhasilannya. Dengan keadaan yang semakin berkembang
bertambah pula karyawanku, termasuk untuk bidang pemasarannya. Tapi beberapa
pelanggan yang telah kubina sejak awal, termasuk di antaranya beberapa rumah
sakit dan apotik ternama, tetap kutangani sendiri. Karena itulah walaupun
usahaku kelak semakin maju aku sendiri tetap melakukan perjalanan-perjalanan yang
cukup melelahkan, dalam rangka memelihara hubungan dengan pelanggan-pelanggan
lamaku.
Di kantorku pegawai yang paling tua
bernama pak Solichin, dan sebagai penghargaan sering kupanggil mang Ihin.
Barangkali karena dia sendiri merasa akrab denganku dipanggilnya aku Neng
Yasmin, atau kadang-kadang Neng Mimien. Tanpa kuduga ternyata sebutan untukku
ini akhirnya menjadi populer di antara karyawan-karyawanku. Mereka resminya
tetap menyebutku Bu Yasmin atau Bu Heru, tapi tidak jarang juga Neng Mien atau
Neng Mimien. Karena aku masih muda, dengan usia yang tidak terlalu jauh berbeda
dari pegawai-pegawaiku, kubiarkan saja mereka menggunakan sebutan akrab ini. Di
antara karyawanku ada seorang pemuda bernama Adli. Ia masih muda, tetapi sudah
berkeluarga dengan satu orang anak. Orangnya hitam manis, gagah dan tampan,
tetapi lugu sekali. Kelihatannya pendidikannya tidak terlalu tinggi. Barangkali
malah tidak sampai tamat SMP atau SMA.
Walaupun demikian kesetiaannya
sangat bisa diandalkan, bahkan caranya membela apa yang dianggapnya sebagai
kepentinganku sangat fanatik. Dia mulai bekerja di tempatku sebagai penjaga
malam, alias satpam, dan ternyata sangat baik menjalankan tugasnya. Karena dia
juga pandai ilmu-ilmu bela diri, seperti silat dan sebagainya, beberapa stafku
mengusulkan supaya dia menjadi pengawalku. Khususnya dalam
perjalanan-perjalananku ke keluar kota. Apalagi akhir-akhir ini keadaan di
wilayah sekitar Bandung dirasa kurang aman. Jadi mulailah Adli ikut
mendampingiku keluar kota. Ternyata pengaturan ini sangat memuaskanku, karena
orangnya lucu dan jenaka. Sering-kali aku merasa terhibur dengan
lelucon-lelucon ataupun gayanya yang kocak. Di samping itu ada lagi
kelebihannya, sebagai seorang jago silat Adli juga pandai mengurut dan memijat.
Maka bukan sekali dua-kali aku sempat memanfaatkan kebolehannya ini.
Pada suatu hari aku harus melakukan
kunjungan ke kota-kota Sumedang, Kuningan dan Cirebon. Endah, seorang tenaga
pemasaran yang biasa mendampingiku, kali ini tidak bisa ikut bersamaku.
Kebetulan orang-tuanya jatuh sakit. Karena mas Heru tidak keberatan pergilah
aku dengan supirku, tentunya di kawal juga oleh Adli. Aku meninggalkan kota
Bandung dengan perasaan enteng saja. Tidak terbayang bahwa nantinya akan
terjadi sesuatu yang akan membawa pengaruh yang besar dalam kehidupanku.
Semua urusanku di Sumedang berjalan
lancar, bahkan mungkin lebih banyak waktu yang kugunakan ngobrol dengan
langganan-langgananku daripada betul-betul menangani masalah bisnisnya. Sesuai
rencana untuk malam pertama ini kami menginap di Sumedang. Kupilih kamar yang
baik dan bersih untukku, lalu aku mandi menyegarkan diriku. Ketika mencoba
untuk tidur ternyata aku tidak merasa mengantuk sama-sekali. Sulit sekali
bagiku untuk memicingkan mataku. Akhirnya daripada kesal sendirian kusuruh Adli
datang ke kamarku. Akan kuminta dia memijatku, sambil aku nanti mendengarkan
cerita-ceritanya yang jenaka. “Ada apa neng?” … tanya Adli sambil memasuki
kamarku
Kuminta Adli memijat punggungku.
Sebagai karyawan yang setia ia mau saja. Setelah beberapa saat kuminta ia
menduduki pantatku, maksudnya supaya tekanan pijatannya lebih terasa. Santai
saja kubiarkan ia mengurut dan memijati punggungku yang agak terbuka, karena
jenis daster yang kukenakan memang seperti itu. “Neng, panas yah! Saya sampai keringetan!”
Dengan lugunya Adli mengeluh kepadaku. Santai saja kutanggapi kata-katanya, …
“Ya buka aja kaosnya!” Setengah geli dan juga kesal aku melihat dia langsung
membuka kaosnya dengan tanpa ragu sedikitpun. Lalu kembali dia memijati
punggungku. Tidak berapa lama kemudian terdengar Adli berbicara lagi, … “Neng …
Neng Mimien, maaf ya Neng kalau ada yang mengganggu.” Polos betul anak muda
ini. Begitu sopan dan lugu, tapi juga gagah pembawaannya. Memang aku
sendiri merasakan ‘ada sesuatu’ sesuatu yang mengganjal di atas pantatku.
“Kenapa sih memangnya?” Tanyaku dengan maksud mau mengganggunya. Jawabannya
yang polos membuatku geli, tapi juga terangsang. Dengan sangat lugu dia
menerangkan, … “Iya Neng, udah seminggu belom kesampean … eh … gituan.” Kutanya
lagi, … “Kok bisa?” … “Iya abis kan udah tiga hari ini sibuk di kantor, abis
itu diminta nganterin Neng keliling.” Lalu sambungnya lagi, … “Padahal sebelom
berangkat istri saya lagi … itu tuh Neng … datang bulan.” Karena kepingin tahu
kutanya terus, … “Jadi gimana dong?” Keluguan dan kepolosannya semakin terlihat
sewaktu dia menjawab. “Yah pusing aja … Apalagi ngeliat punggung Neng Mimien
kenceng begini, kayak istri saya aja …, bedanya neng lebih putih aja.” Agak
menahan tawa kuanjurkan padanya, … “Yah kalau pusing dilepas aja pakai tangan
di kamar mandi sana.” Usulanku ini ternyata ditanggapi dengan serius oleh Adli.
“Iya yah Neng, bener juga, kalau gitu ditinggal sebentar ya Neng.” Adli berdiri
lalu melangkah kearah kamar mandi. Seakan-akan tanpa beban apapun ditinggalnya
aku sendiri begitu saja. Masih terlihat olehku tubuhnya yang ramping, kekar dan
berotot itu. Tanpa sadar kutelan ludah. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal di
kerongkonganku.
Karena bosan dan juga ingin tahu, kalaupun belum
karena dorongan gairah, kususul Adli ke kamar mandi. Ternyata pintunya tidak
terkunci. Pelan-pelan kubuka pintunya dan akupun masuk dengan rasa penasaran.
Adli tidak menyadari kehadiranku di dekatnya. Terlihat dia sedang berdiri
menyandar pada bak mandi. Tubuhnya dalam keadaan telanjang, karena tadi baju
kaosnya sudah kusuruh lepas waktu sedang memijatiku. Walaupun kulitnya agak
gelap, secara keseluruhan dia terlihat gagah. Celana pendeknya masih
menggantung di pahanya, karena rupanya hanya dilorot sebagian. Terlihat matanya
terpejam menikmati apa yang sedang dilakukannya. Dari gerakan pada lengannya
kutahu dia sedang mengocok ‘barang kepunyaan’nya. Segera kutujukan mataku ke
arah selangkangannya. Apa yang kulihat saat itu membuatku kagum, bahkan membuat
nafasku sesak tersengal-sengal. Tangan Adli sedang menggenggam ‘alat
kejantanan’nya, yang kelihatan besar dan panjang sekali. Sangat
berbeda dengan kepunyaan mas Heru yang ukurannya sedang-sedang saja. Ujung
kepala ‘kemaluan’nya bulat, keras dan mengkilat. Seperti orangnya warnanya juga
cokelat tua agak kehitam-hitaman. Adli masih terus mengocok-ngocok ‘barang
kepunyaan’nya yang mengagumkan itu. Karena matanya terpejam dia tidak menyadari
bahwa aku telah semakin dekat dengannya. Aku juga terbawa untuk memejamkan
mataku. Terbayangkan olehku hal yang tidak-tidak yang juga membuatku
terangsang.
Kurasa sesuatu yang menggelegak dalam diriku. Sekali
lagi aku sampai menelan ludah. Lalu kuberanikan diriku untuk menyapanya, …
“Adli! Besar amat sih ITU-nya?” Adli terlihat sangat terkejut. Tersipu-sipu ia
berkata, … “Aduh Neng, kok ada di sini … Aduh maaf Neng!” Segera kutenangkan
dia, … “Nggak apa-apa, nggak apa-apa kok.” Lalu sambil mengulurkan tanganku ke
arah ‘tonggak kejantanan’ Adli aku berkata, … “Coba lihat dong! Ukurannya kok
sampai sebesar ini sih?” Malu-malu dia berusaha menghindar, tapi terpegang juga
olehku ‘barang kepunyaan’nya. Lucunya setelah terpegang dia tidak terus
berontak, malah dibiarkannya aku mengusap-usap ‘alat kejantanan’nya itu.
Setelah aku usap-usap Adli terlihat sudah mulai mampu menguasai diri lagi.
Malah rupanya keberaniannya timbul kembali. Dengan gaya lugunya dia bertanya, …
“Emangnya besar ya Neng punya Adli?” Aku mengangguk mengiyakan. Hampir tertawa
aku ketika Adli menanyakan, … “Tapi istri saya kok nggak pernah bilang apa-apa
yah?” Kujawab saja sekenanya, … “Wah dia nggak ngerti suaminya punya barang
hebat” … “Eh ngomong-ngomong mau diterusin nggak?” Dengan manis dan lugu Adli
mengangguk, … “Kalau nggak diterusin entar pusing Neng.” Tidak mampu menahan
diri lagi langsung kutawarkan padanya, … “Mau saya bantuin nggak?” Terlongo
Adli memandangku dan bertanya, … “Emangnya Eneng mau?” Sambil tersenyum genit
aku berkata kepadanya, … “Kalau untuk kamu mau dong, … tapi jangan di sini ya,
di kamar aja yuk!”
Kutarik tangan Adli dan menuntunnya kembali ke kamar
tidur. Kuarahkan supaya ia duduk membujur di atas ranjang, lalu aku menelungkup
di hadapannya. Kedua tanganku mulai mengusap-usap ‘batang kejantanan’ Adli.
Ukurannya memang luar biasa. Tadi dalam keadaan Adli berdiri, kalau ‘batang
keras’nya ditegakkan sepertinya panjangnya sampai ke pusarnya. Sekarang dalam
keadaan dia duduk panjangnya jelas meliwati pusarnya itu. “Aduh Neng, geli
banget!” Erang Adli. Kedua lengannya mengencang menyangga tubuhnya, sampai
terlihat otot-ototnya menonjol gagah. “Adli! Adli! Besar amat ya kepunyaan kamu
ini, katanya orang Arab yang itunya gede-gede begini,” … demikian aku
membuatnya bertambah semangat. Ternyata Adli mengiyakan sinyalemen ini dengan
menerangkan, … “Iya Neng, kakek Adli dari emak memang keturunan Arab.”
Pantaslah kalau begitu. Beberapa saat hening tanpa ada suara, sementara aku
terus mengocok-ngocok lembut ‘barang kepunyaan’ Adli. Sampai akhirnya terdengar
lagi Adli bertanya, … “Neng, katanya kalau orang bule seneng ngemutin pake
mulut yah Neng?” Pertanyaan ini kurasa semakin menjurus dan membuatku terusik
oleh keinginan terpendam yang ada di hatiku. Dengan singkat kujelaskan padanya,
… “Ah bukan orang bule aja, orang Indonesia juga ada.”
Setelah terdiam sejenak pertanyaan berikutnya membuat
gairahku semakin tergugah. “Kalau Neng Mimien gimana?” Walau dengan nada
ragu-ragu berani juga dia menanyakannya. Akupun mengaku terus terang, … “Yah
saya sih dari dulu juga suka.” Sejenak lagi Adli terdiam lalu terang-terangan
bertanya, … “Sama punya Adli mau nggak Neng?” Aku melepas nafas lega, rupanya
akan terjadi juga hal tidak-tidak yang dari tadi terbayang olehku. Tapi aku
tidak mau terburu-buru, aku masih ingin mempermainkannya dulu. Dengan mimik
serius kujelaskan padanya, … “Wah kalau itu sih harus dilamar dulu!” Rupanya
tertarik Adli bertanya mengejar, … “Maksudnya dilamar gimana Neng?” Masih tetap
serius kupertegas lebih jauh lagi, … “Ya ngelamar anak orang kan biasanya ada
syaratnya.” Wajah Adli terlihat agak kecewa, … “Yah kalau pake mas kawin mah
Adli nggak punya.” Tidak ingin terlalu lama berjual mahal langsung kujelaskan
padanya, … “Maksudnya bukan begitu, syarat sebagai laki-laki ya ITU-nya bisa
bangun, besar, panjang, keras sama kuat.” Kembali Adli nampak bersemangat, …
“Oh kalau itu sih Adli mampu … Bersedia nggak Neng dilamar Adli?” Aku
membisikkan kesediaanku. Lalu Adli berkata dengan penuh keseriusan, … “Neng,
bersama ini Adli nyatakan bahwa Adli ngelamar Neng Mimien alias Neng Yasmin dan
mampu memenuhi syarat yang diminta tadi …” Kujawab kata-katanya itu, … “Dengan
ikhlas saya bersedia menerima lamarannya Adli dan berjanji untuk memuaskan
kemauannya.” Walaupun aku sebetulnya bercanda, tetapi semua kulakukan dengan
penuh keseriusan. Begitu pula Adli menanggapinya dengan cara yang serius juga.
Sambil tersenyum lega Adli bertanya, … “Terus gimana
Neng?” Aku juga tersenyum dan menjawab, … “Terus saya cium.” Dengan bersemangat
Adli memyambutnya, … “Aduh mau Neng, ayo dong!” Pada saat bibirku mendarat di
atas ‘kepala kemaluan’nya dan mengecupnya Adli mendesah, … “Aduh geli Neng, enak.”
Apalagi waktu mulai kujilat-jilat dengan lidahku, ia betul-betul merasakan
nikmatnya. Tubuhnya mengejang keras, … “Aduh Neng geli sekali.” Begitu
kumasukkan ‘ujung kemaluan’nya yang seperti ‘topi baja’ itu ke mulutku, lalu
mulai aku kulum, Adli mengerang panjang. Karena keenakan dia sampai menekan
kepalaku ke bawah. Dipenuhi oleh ‘ukuran kejantanan’ lelaki yang sebesar itu
aku sampai sulit bernafas. Untung aku sudah cukup berpengalaman dalam hal ’seks
oral,’ sehingga dengan mudah aku bisa menyesuaikan gerakan bibir, lidah dan
mulutku.
Ketika ujung ‘tongkat kejantanan’nya menyentuh
langit-langit mulutku, aku merasakan lonjakan gairah yang membawa nikmat.
Sayang sementara sedang menikmati itu semua masih kudengar juga Adli bertanya
lagi. Katanya, … “Neng hanya ini aja apa boleh lebih Neng?” Terpaksa aku
menjawab dulu, supaya jangan terjadi hal-hal yang tidak kuinginkan. Kuusahakan
supaya Adli bisa menerima keteranganku dengan baik. “Sebatas ini aja ya,
soalnya baik Adli maupun saya kan udah berkeluarga … Lagi pula kalau meliwati
batas ini kita kan jadinya melanggar perintah agama, … Iya kan Adli?” Tersenyum
puas Adli memandangku, … “Iya juga ya Neng, sampai sekarang Adli belom pernah
melanggar perintah agama … Terima kasih ya Neng, begini aja Adli udah puas sekali
kok.” Manis sekali anak ini, akupun jadi semakin menyukainya. Langsung
kuperhebat emutanku, sampai aku sendiri semakin terangsang. Sewaktu aku sudah
mulai hanyut, ternyata masih juga kudengar permintaan Adli. “Neng,” …
panggilnya, … “Neng Mimien.” Agak kesal aku menjawabnya, … “Iya kenapa? Ada
apa?” Rupanya Adli tidak tahu bahwa aku merasa kesal. Terbukti dia masih
memintaku, … “Neng, sambil diemutin dijilatin juga Neng, enak kan kalau sembari
dijilatin …” Kupenuhi permintaannya, walaupun aku merasa agak jengkel. Berani
betul anak muda ini menyuruh-nyuruh aku. Untung suasana batinku tidak sampai
terganggu, sehingga aku dapat mencapai orgasmeku.
Karena sudah terangsang dari tadi, terutama setelah
mulai mengemut ‘alat kejantanan’ Adli, beberapa usapan saja sudah cukup untuk
membawaku ke puncak rasa jasmaniku. Aku mengaduh, merintih dan mengerang sambil
terus menjilati ‘barang kepunyaan’ Adli. Laki-laki itu sampai melihati aku
dengan pandangan agak heran. Tapi tidak kuperdulikan lagi dirinya. Terus aku emuti
‘daging keras’ Adli di mulutku, sampai gelora rasaku mereda. Setelah itu yang
aku sadar adalah betapa pegalnya rahang mulutku, karena dari tadi mengemuti
kepunyaan Adli dengan tanpa henti.
Sedikit-sedikit mulai ada rasa jengkel juga karena
daya tahan kejantanan lelaki itu kuat sekali. Hampir aku sentak dia ketika
sekali lagi kudengar suaranya berbicara kepadaku. “Neng,” … katanya, …”Neng.”
“Aduh Adli, ada apa lagi sih?” Tapi untung dia tidak menangkap kekesalanku,
karena kudengar dia berkata, … “Saya hampir keluar Neng.” Rasa gairah semakin
merangsang diriku, semakin keras juga aku mengemut dan mengisap ‘alat kemaluan’
Adli. Hingga akhirnya seluruh tubuh Adli mengejang keras, begitu juga batang
kejantanannya di mulutku. “Ah … ah … Neng … Neng Mimien … ah … Aduh Neng … aaah
…,” … Adli mengerang keras dan panjang. Rupanya dia sedang mengalami puncak
kenikmatannya di mulutku. Semburan demi semburan air mani Adli memasuki rongga
mulutku.
Banyak sekali, kental, dan asin rasanya. Supaya tidak
terselak kutelan sebisa-bisanya. Tapi setelah aku tidak tahan lagi kubiarkan
sebagian tertumpah dari mulutku dan terjatuh ke perut Adli. Beberapa saat
kemudian keadaan mulai mereda. Kudengar suara nafas Adli lembut. Alat
kejantanan’nya yang masih berada dalam genggamanku ternyata masih keras juga.
“Adli,” … kupanggil dia. Sambil mengusap-usap bahuku ia menjawab, … “Neng?”
Kujelaskan padanya, “Punya lelaki yang seperti begini yang jadi idaman wanita.”
Seperti biasa dalam kepolosannya dia tidak langsung mengerti, … “Kenapa Neng?”
Karena sudah puas aku tidak kesal lagi dengan keluguannya, … “Soalnya biarpun
udah lepas muatannya masih tetap keras.”
Sebelum dia sempat bertanya lebih jauh lagi kuminta ia
membujurkan dirinya di ranjang. Lalu kuambil handuk yang sudah kubasahi dengan
air panas dan kubersihkan seluruh tubuhnya. Sebelum tertidur Adli sempat
memandangku mesra. Katanya lirih, … “Neng Mimien, Terima kasih ya Neng!” Akupun
tidur di ranjang satunya. Pemandangan tubuh telanjang Adli, yang sebagiannya
telah terbungkus selimut, mengantarku ke dunia mimpi.
Perjalanan di hari berikutnya berlangsung cukup lama.
Bukan karena jarak yang ditempuh jauh sekali, tapi lebih disebabkan oleh
kemacetan yang luar biasa. Sebuah truk trailer rupanya mengalami selip dan terbuang
melintang menutupi sebagian jalan antar kota yang kami liwati. Setibanya di
kota tujuan berikutnya, yaitu Kuningan, langsung kuperintahkan mencari restoran
untuk makan malam. Sayangnya setelah itu tidak langsung dapat menemukan hotel
ataupun losmen dengan kamar yang masih kosong. Akhirnya terpaksa mencari kamar
agak keluar kota, yaitu di kawasan pariwisata yang berada di daerah pegunungan.
Baru menjelang tengah malam kami menemukan sebuah losmen kecil di mana masih
tersedia kamar yang kosong. Untungnya pada setiap kamar di losmen ini
dilengkapi pula dengan kamar mandi. Ketika aku memesan kamar kulihat wajah Adli
menatap dengan pandangan penuh harap. Begitu ganteng, tetapi polos dan lugu
sekali. Kupesan satu kamar untuk dia dan pak Soleh, supir kantorku. Aku sendiri
minta kamar dengan tempat ranjang “double-bed.’ Berbeda dengan semalam
sebelumnya, kali ini aku tidak begitu tergerak untuk mengajak Adli ke kamarku.
Barangkali karena hasratku sudah terpuaskan tadi malam, lagi pula perjalanan
hari ini benar-benar membuatku sangat letih. Segera aku mandi dan membaringkan
diriku di ranjang empuk yang tersedia. Lama kelamaan baru terasa malam ini sepi
sekali.
Sewaktu aku hampir tertidur kudengar bunyi ketukan di
pintu, lalu suara seorang laki-laki. “Neng, Neng Mimien, udah tidur belom?” …
“Neng bukain pintunya dulu Neng.” Karena ketukan pintunya begitu gencar
akhirnya kubukakan pintu untuk Adli. Ia segera masuk ke dalam ruangan,
sedangkan aku yang tadi tidur dengan busana yang sangat minim segera kembali ke
bawah selimut. Kutanya kepadanya, … “Kenapa Adli, ada apa?” … “Adli nggak bisa
tidur Neng, boleh nggak Adli di sini? Nggak usah sampe pagi sih.” Dengan
hati-hati kujawab, … “Boleh sih boleh, tapi apa kata pak Soleh nanti?” Adli
tersenyum lebar, … “Tadi saya udah bilang mau jalan-jalan. Besok saya bilangin
aja Adli nyari kamar lain, soalnya pak Soleh kalo tidur ngorok Neng.” Rupanya
biarpun polos jalan juga pikiran anak ini. Waktu Adli mau naik ke atas ranjang
kucegah dia, … “Itu kan celana yang tadi siang dipakai, lepas dulu dong, kan
kotor.” Tersenyum Adli memandangku, … “O iya Neng, lagi pula supaya nanti
gampang ya kalo Neng Mimien mau, kalau begitu sekalian aja saya lepas bajunya
ya Neng.” Kurang asem si Adli, berani betul dia membuat asumsi seperti itu. Sebelum
kubalikkan tubuhku membelakanginya sempat kulihat tubuhnya yang telanjang kekar
naik ke atas ranjang.
Beberapa saat berlalu tiba-tiba kurasa sentuhan tangan
Adli di bahuku. “Neng jangan tidur dulu dong Neng,” … pintanya memelas mesra.
“Deketan dikit dong, biar nggak kedinginan,” … sambungnya lagi. Kuputuskan
untuk beringsut sedikit ke arah tubuhnya. Aku masih diam saja, tapi kubiarkan
Adli merangkul dan mengecup bahuku. Setelah itu disusupkannya lengan kirinya ke
bawah leherku, sehingga aku sekarang berbantalkan lengan yang kokoh itu. “Balik
sini dong Neng,” … pinta Adli sekali lagi. Kuturuti permintaannya. Terasa bulu
ketiaknya menusuk pipiku. Tercium juga bau keringatnya yang agak tajam
menyengat.
Kurasa Adli belum mandi, dan yang pasti tidak memakai
‘deodorant. Boro-boro mau beli perlengkapan semacam itu, gaji untuk hidup
sehari-hari sajapun mungkin pas-pasan. Tapi tidak kuucapkan komentar apapun,
karena akupun tidak ingin untuk menyinggung perasaannya. “Neng,” … kata Adli
memulai percakapan, … “tadi malam enak ya Neng?” Kutanggapi ia malas-malasan, …
“Iya, lumayan juga.” Dengan terbuka ia mengakui, … “Neng, Inget yang tadi malam
Adli jadi ngaceng, eh maksudnya bangun lagi ITU-nya Neng.” Dengan maksud iseng
kugoda Adli, … “Maksud Adli ITU-nya apa sih?” Dalam kepolosannya sulit ia untuk
menjawab dengan tepat, … “Itu Neng, burungnya … eh apa tuh namanya Neng?” Aku
jadi tertawa geli mendengar jawabannya itu. Adlipun tertawa bersamaku.
“Pegangin dong Neng, “… sekarang dia memintaku. Terus terang aku sendiri juga
mulai terangsang. Kumasukkan tanganku ke dalam selimut, dan segera menuju ke
arah selangkangannya.
Begitu terpegang ‘tonjolan keras’ di balik celana
dalamnya segera tanganku mencari celah masuk. Seperti pengakuannya tadi
ternyata ‘alat kejantanan’ Adli sudah menegang keras dan besar sekali. Terasa
sekali hangat berdenyut dalam genggamanku. Agak lengket oleh keringat yang
barangkali sudah mengendap seharian. Terbawa oleh suasana mesra saat itu kucium
dan emut puting dadanya. Adli menggelinjang kegelian. Katanya meminta, … “Terus
ke bawah Neng.” Tapi tercium lagi olehku bau keringat Adli. Karena tidak tahan
kuusulkan padanya, … “Adli, mandi aja dulu, nanti rasanya lebih segar deh.” Di
luar dugaanku Adli menanggapi dengan penuh percaya diri, … “Nggak usah deh
Neng, dingin sekali.” Tapi aku tidak mau menyerah begitu saja. Kataku
membujuknya, … “Lho kan ada air panasnya, sana deh … Apa harus saya yang
mandiin?” Sambil berdiri Adli berkata, … “Nggak usah ah kalo dimandiin,
emangnya jenazah nggak bisa mandi sendiri.” Adli melorot celana dalamnya, …
“Tapi ininya dicium dulu dong.” Agak jengkel aku mendengar permintaannya.
Dari nadanya kesan yang kutangkap seakan-akan dia
ingin menguji atau mempermainkan aku. Dengan maksud supaya dia cepat pergi ke
kamar mandi, segera kukecup ‘kepala’ dan ‘batang kemaluan’nya, masing-masing
sekali. Tapi Adli memintaku untuk mengulanginya sekali lagi, dan setelah itu
sekali lagi. Akhirnya malah aku sendiri yang keenakan menciumi ‘batang
kemaluan’ Adli. Karena sudah terangsang tanpa dimintanya kujilati juga ‘tonggak
kejantanan’ yang perkasa itu. Kesan lengket yang tadinya ada sekarang sudah
hilang, tersapu oleh jilatan lidahku. Sementara aku sedang menikmati ’senjata
kejantanan’nya Adli kudengar dia bertanya, … “Neng seneng ya sama ITU-nya
Adli.” Kujawab singkat, … “Iya dong, seneng sekali.” Rasa penasaran rupanya
mendorongnya bertanya lagi, … “Kalau sama yang dulu-dulu.” Pertanyaannya
membuat gairahku semakin bergejolak. Tapi kucoba juga untuk menjawabnya, …
“Senengan yang ini.” Merasa belum puas dikejarnya terus jawabanku, … “Kenapa?”
Dengan nafas tersengal-sengal kujawab dia, … “Ini yang paling hebat, paling
besar, paling kuat, … pokoknya … pangjagonalah.” Adli tersenyum bangga. Lalu
pelan-pelan didorongnya daguku hingga menjauh dari ‘batang kemaluannya.’ “Iya
deh, sekarang Adli mau mandi dulu ya,” … katanya meminta diri. Sejenak aku
merasa seperti ditinggal pergi dengan sengaja, bahkan ditolak, atau malah
dipermainkan. Rasanya hatiku tidak rela melepas Adli pergi, biarpun hanya untuk
ke kamar mandi.
Beberapa saat kemudian terlihat Adli keluar dari kamar
mandi. Dia hanya mengenakan sehelai handuk untuk menutupi bagian bawah
tubuhnya. Kuperhatikan setiap lekuk pada tubuh yang bagus dan tegap itu. Lalu
kutersenyum padanya. “Kenapa Neng?” … Tanya Adli. “Ah nggak, seneng aja ngeliat
lelaki keren,” … kataku merayu. Wajah Adli terlihat senang. Kugamit lengannya
agar ia lalu mendekat, setelah itu kutarik handuknya lepas. ‘Batang kejantanan’
Adli terpampang di depanku, sudah tegang keras kembali. Lho, tanyaku heran, …
“kok masih keras sih.” Tersenyum Adli menjelaskan, … “Tadi sih udah nggak lagi,
tapi begitu ngeliat Neng Mimien jadi bangun lagi.” Sekarang giliran dia yang
membuat hatiku senang dengan kata-katanya. Segera kutarik tangannya, kuminta ia
membaringkan tubuhnya di ranjang. Kuciumi wajah pemuda yang telah memikat
hatiku ini, sehingga sampai membuatku terlupa pada rumah-tanggaku sendiri.
Kugigiti dia dengan lembut bercambur gemas mulai dari leher, lalu bahu dan
dadanya, dan setelah itu sepanjang pinggangnya.
Setelah itu kuteruskan ke arah bawah hingga ke sekitar
selangkangannya. Tapi kali ini aku hanya menciumi batang kemaluan Adli
sekedarnya saja. Sempat kulirik Adli menatapku dengan pandangan heran. Tapi
kuteruskan saja menciumi paha dan betisnya hingga aku sampai di kakinya. Waktu
jempol kakinya kuemut Adli menjerit, … “Aduh Neng jangan, kasihan Neng Mimien.”
Setelah itu kecupan-kecupan bibirku bergerak menuju ke atas lagi, hingga aku
berhenti di sekitar selangkangannya. Tubuh Adli terlihat berkeringat, padahal
udara malam itu cukup dingin. Rupanya apa yang baru kulakukan tadi telah memacu
birahinya. “Enak nggak Adli?” … tanyaku ingin memastikan. “Aduh Neng, Adli
nggak pernah ngebayangin seperti ini rasanya.” Jawabannya membuat hatiku
berbunga-bunga.
Dengan penuh semangat aku mulai menjilati ‘kepala’ dan
‘batang kemaluan’nya. Lidahku menyapu semua sudut ‘kemaluan’ yang besar dan
keras itu. Tidak lupa kujilati juga ‘buah zakar’nya, hingga Adli menjerit
keenakan. Apalagi waktu pantatnya kugigit-gigit lembut. Karena masih ingin
merangsang Adli lebih jauh lagi kudorong bagian bawah pahanya ke atas. Lalu
kujilati sekitar ‘dubur’nya. “Aduh Neng, aduh, ampun Neng,” … Adli mengerang
keras sekali. Karena kuatir didengar orang kuhentikan jilatanku itu. Langsung
‘batang kemaluan’ Adli aku kulum dalam dan setelah itu kuemut-emut dengan
bernafsu. Beberapa saat kemudian Adli menarik tanganku lembut, … “Sini Neng! …
Adli belom pernah ngalamin yang seperti begini … Terima kasih ya Neng!” Kemudian
dimintanya aku berbaring menelentang.
Sebelum timbul pikiran macam-macam di benak pemuda
cepat kutarik ‘batang kejantanan’nya ke mulutku dan kuemut-emut dengan penuh
gairah. Setelah itu terjadilah sesuatu yang tidak kubayangkan akan sebelumnya.
Ia menjatuh tubuhnya ke arah bawah, dalam posisi 69 berlawanan arah dengan
tubuhku. Didekatkannya wajahnya yang tampan itu ke arah selangkanganku.
Dijilatinya seluruh bagian ‘kemaluan’ku. Dipeluk dan ditariknya pantatku, lalu
dijilatinya ‘dubur’ku seperti tadi telah kulakukan padanya. Kalau tidak kugigit
bibirku pastilah aku sudah menjerit-jerit kegelian. Sewaktu dia kembali
menjilati kemaluanku hampir saja aku mencapai puncak orgasmeku. “Adli, sayang,
udah ah saya nggak tahan,” … kataku memintanya berhenti.
Pemuda itu menatapku dengan pandangan bertanya.
Terpaksa kujelaskan bahwa belum tentu aku setahan dia. Kalau nanti aku orgasme
duluan bisa mengganggu pelayananku kepadanya. Setelah mau mengerti Adli kembali
ke posisi semula, yaitu mengangkangi tubuh bagian atasku. Kumulai lagi
menjilati dan mengemut ‘tonggak kejantanan’ Adli yang keras itu. Sambil
tentunya tanganku sendiri mengusap-usap ‘kemaluan’ku yang tadi sudah dirangsang
Adli. Lama-kelamaan
mulai terasa cairan kental agak asin di mulutku. Kelihatannya Adli sudah
mendekati saat-saat puncaknya. Sayangnya tiba-tiba aku merasa agak mual.
Terpaksa kuakali Adli dengan meminta sesuatu yang berbeda dari tadi malam.
‘Adli, nanti waktu keluar siramin ya ke atasnya saya.’ Ia bertanya heran, …
“Mau Neng seperti begitu, ditumpahin pejuhnya saya?” Kuyakinkan Adli, … “Mau
dong kan enak … Oh iya nanti kalau kamu udah keluar punya saya kamu usapin ya,
biar saya juga puas.” Setelah itu kembali kuemut-emut ‘batang kemaluan’ Adli,
sambil kukocok-kocok keras. Tidak terlalu lama kemudian terdengar Adli
mengerang dan mengaduh.
Sesuai permintaanku tadi ditariknya ‘tonggak
kejantanan’nya dari dalam mulutku. Lalu dia mengambil alih dengan mengocoknya
sendiri. Kuatur posisi diriku sambil tanganku terus meremas-remas pahanya yang
keras berotot. Waktu Adli mulai ber’ejakulasi’ aku mengaduh kaget. Cairan yang
tadinya kuharap akan jatuh di dadaku, atau paling jauh leherku, ternyata begitu
kuat semburannya sehingga tertumpah di wajahku. Mendengar eranganku rupanya
Adli mengira aku menyukainya. Didekatkannya barang kejantanan’nya ke wajahku.
‘Ah … ini Neng … ah … ah,’ … semburan demi semburan cairan air mani Adli
tersiram ke wajahku. Terpaksa kucoba menikmati itu semua sebisaku. Sementara
itu kurasa telapak tangan Adli yang kasar meraba selangkangan dan celah pahaku,
berusaha membawaku juga diriku ke puncak orgasme. Dalam keadaan terangsang
mulutku mencari ‘batang kejantanan’ Adli. Seperti semalam sebelumnya ternyata
masih dalam keadaan sangat keras, dan tetap besar, walaupun sudah mengalami
‘ejakulasi’nya. Dengan cepat kumasukkan ‘barang kepunyaan’ Adli itu ke dalam
mulutku dan kuemut-emut lagi. Adli mengerang keenakan dan mengaduh kegelian.
Dalam keadaan itulah aku juga mencapai puncak pengalamanku di malam ini.
Melihat keadaanku yang sudah lemah lunglai Adli
menyuruhku berbaring santai. Setelah membersihkan dirinya di kamar mandi ia
kembali membawa handuk yang telah dibasahinya dengan air hangat. Dibersihkannya
seluruh tubuhku dengan telaten dan penuh perhatian. Sambil merebahkan tubuhnya masih
sempat ia berkata, … “Aduh Neng, enak sekali rasanya.” “Iya Adli, saya juga
puas sekali,” … jawabku sambil beringsut mendekatinya. Kali ini aku yang ingin
dipeluknya. Demikianlah selanjutnya akupun terlelap dalam pelukan Adli,
seolah-olah dalam pelukan lengan pasangan hidupku yang sejati.
Pada waktu menemaniku makan pagi di restoran Adli
berkomentar, … “Seneng juga ya Neng, bisa puas menikmati yang seperti tadi
malam tanpa melanggar perintah agama.” Aku hanya tersenyum mendengarkannya
berbicara. Lalu ia melanjutkan, … “Tapi ada juga nih yang Adli nggak seneng.”
Kutanya padanya, … “Apanya yang nggak seneng?” Tandas Adli tegas, … “Nggak
seneng karena sekarang udah mau balik ke Bandung.” Kebetulan memang sudah
saatnya untuk aku kembali ke Bandung. Kucoba menghiburnya, …. “Iya kan di
bandung juga banyak kerjaan, lagi pula nanti-nanti saya juga harus ke luar kota
lagi … Nanti kamu deh yang saya bawa.” Adli menatapku tajam dengan pandangan
curiga, lalu bertanya, … “Emangnya di Bandung kita nggak bisa melakukan yang
seperti begini.”
Merinding bulu kudukku mendengar kata-kata Adli.
Pelan-pelan aku berusaha menenangkannya dan memberinya pengertian, … “Iya kalau
di sana kita kan harus hati-hati, kan susah kalau sampai ketahuan orang.” Wajah
Adli terlihat mengeras. Dengan nada getir ia bertanya, … “Di Bandung nanti Neng
Mimien nggak akan ngehindarin saya kan?” Aku gelagapan mencoba menjelaskan, …
“Oh bukan itu maksud saya …” Dengan nada tegas Adli memotong ucapanku, … “Awas
ya Neng, Adli nggak terima kalo dipermainkan, kan Neng Mimien udah Adli lamar!”
Aku hanya terdiam, tidak mampu berkata apa-apa lagi. Ada rasa kuatir di hatiku.
Permainan
candaku di malam pertama rupanya terlalu serius diterima Adli.
Di Bandung aku kembali menangani kesibukan-kesibukan
rutinku. Sengaja aku menyibukkan diriku, maksudnya supaya jangan memberi
peluang terhadap Adli. Memang beberapa kali dia berusaha mendekati diriku, dan
mencoba mengajakku ngobrol. Tapi terus kucari jalan untuk tidak terlalu
bersikap akrab dengannya. Demikianlah hal ini terus berlangsung, barangkali
sampai hampir dua minggu sejak acara penyelewenganku dengan Adli. Aku sadar
bahwa apa yang kulakukan ini mungkin menyakitinya atau malah membuatnya marah,
tapi kuanggap langkah yang terbaik pada saat itu. Tentunya aku tidak pernah
memperkirakan bahwa Adli akan berani berbuat nekad. Rupanya perkiraanku itu
salah.
Pada suatu kesempatan aku terpaksa bekerja sampai jauh
malam. Sebelumnya telah kuberitahu suamiku bahwa ada kegiatan ’stock-taking’ yang
harus kuawasi. Begitu sibuknya aku sampai-sampai aku kehilangan kewaspadaanku.
Tanpa kusadari tinggal aku berdua dengan seorang tenaga pembukuan, sedang
karyawan-karyawanku lainnya sudah kuijinkan pulang lebih dahulu. Karena masih
ada beberapa surat yang perlu kubaca, setelah pekerjaan selesai kubiarkan
pegawai tata-bukuku untuk berpamitan. Aku merasa tenang saja karena bukankah
ada Pak soleh supirku yang masih menunggu untuk nanti mengantarku pulang. Pada
waktu akhirnya aku siap untuk pulang kukemasi semua dokumen yang penting dan
kumasukkan ke dalam tasku. Tiba-tiba aku sadar betapa lelahnya rasa tubuhku.
Sedemikian letihnya lebih daripada yang biasanya. Lalu akupun melangkah keluar
bangunan kantorku. Di luar sudah sepi sekali, hanya tampak di lataran parkir
mobil yang akan membawaku pulang. Segera aku menuju ke arah kendaraanku, lalu
membuka pintu dan masuk kedalamnya. Satpam yang tadinya akan membukakan aku
pintu kusuruh langsung membuka pintu pagar. Dengan tenang tanpa rasa curiga
kusandarkan tubuhku ke jok mobil. Pelupuk mataku rasanya berat sekali, keadaan
diriku benar-benar seperti sangat mengantuk.
Setelah beberapa saat baru aku menyadari bahwa pak
Soleh kali ini kurang enak mengendarai mobinya. Langsung saja kutegur dia
dengan menyebut namanya. Suara yang menjawab membuatku terkejut. “Pak Soleh
tadi udah disuruh pulang neng, malam ini biar Adli aja yang nganter. “Ya ampun
ini kan suara si Adli. “Aduh Adli apa-apan kamu, memangnya kamu bisa nyetir,” …
tanyaku padanya. “Yah masih belajar sih neng, tapi kalau sedikit-sedikit Adli
udah lumayan bisa,” … demikian penjelasannya sekenanya saja. Aku diam saja,
berharap segera sampai ke rumah. Tapi beberapa menit kemudian hatiku menjadi
was-was. Kendaraan yang kutumpangi ini rupanya sedang menuju ke suatu arah yang
tak kukenal. “Adli, salah jalan nih,” … kataku menegurnya. “Nggak neng, memang
disengaja, soalnya Adli perlu bicara empat mata sama neng Mimien.” Sia-sia
kuminta ia untuk besok saja menemuiku di kantor. Alasannya harus malam ini
juga, karena menurut dia sudah beberapa lama ini kelihatannya aku berusaha
menghindari dirinya. Aku mulai keringat dingin, bahkan timbul rasa takut di
hatiku. Bagaimana kalau Adli menyakitiku, atau malah membunuhku karena
marahnya. Soalnya dia kan bukan termasuk orang yang berpendidikan tinggi,
sehingga belum tentu mampu bernalar. Tapi aku hanya mampu berdoa dalam hatiku.
Daripada aku marah-marah dan dia menjadi kalap, lebih baik kalau aku diam dulu.
Perjalanan yang rasanya begitu panjang itu akhirnya
berakhir. Rupanya Adli telah membawaku ke sebuah motel murahan yang letaknya
agak tersembunyi. Entah apa maunya. Tapi apapun maunya aku tidak mau panik
dulu. Biarlah sementara kuikuti dulu apa yang ada dalam rencananya. Setelah
melakukan pembayaran Adli terus membawa kendaraan yang kami tumpangi itu ke
salah-satu ‘cottage’ yang letaknya paling pinggir. Setibanya di sana
dipersilahkannya aku masuk, lalu dipesannya minuman ringan. Karena aku masih
kenyang kutolak tawarannya untuk makan malam. Setelah duduk berhadapan dengan
Adli aku mulai merasa tenang. Adli kelihatannya baik-baik saja, tidak terlihat
bahwa dia sedang marah, atau bahkan merencanakan hal-hal yang bisa membahayakan
diriku. “Ada apa sih Adli, kok saya di bawa ke tempat yang begini asing, mana
gelap lagi.” Dengan tajam Adli menatapku, … “ah nggak ada apa-apa neng, hanya
mau ngomong-ngomong aja.” Dalam pembicaraan yang urutannya tidak begitu runut
itu baru aku menyadari kekeliruan permainanku di Sumedang beberapa minggu yang
lalu. Rupanya sekembalinya ke Bandung Adli telah berkonsultasi dengan beberapa
sesepuhnya, terutama untuk minta pendapat apakah perbuatannya bersamaku waktu
itu melanggar perintah agama atau tidak.
Sekarang dia sudah mempunyai kesimpulannya sendiri.
“Begini neng,” … katanya menerangkan, … “apa kita melakukan sepenuhnya atau
terbatas seperti waktu itu, tetap aja menyalahi aturan.” Merasa mendapat angin
segera kukemukakan pendapatku, … “Kalau begitu ya kita nggak boleh lagi kan
melakukannya.” Adli hanya tersenyum. Katanya, … “Pendapat Adli lain neng,” …
lalu lanjutnya lagi, … “kan kita sudah berbuat sesuatu, biarpun neng Mimien
hanya Adli gituin mulutnya.” Dasar si Adli cara mengemukakan masalahnya kenapa
brutal sekali, begitu pikirku. “Terus bagaimana?” Tanyaku pada Adli meminta
ketegasan. “Yah karena memang udah kepalang salah Adli mau minta semuanya
dong.” Kata-katanya membuatku terkejut seperti disambar geledek. “Aduh jangan
Adli, jangan sampai kesitu dong, kan saya sudah bersuami.” Tapi dengan keras
kepala Adli terus mengejarku, … “Kalau begitu kenapa neng Mimien ngajak Adli
gituan?” Lalu katanya dengan tegas, “Sekarang saya menuntut semuanya!” Dengan
sorot mata yang semakin tajam ia menatapku.
Lalu diucapkannya sesuatu yang membuat aku merasa
merinding. Katanya, … “Apa neng Mimien maunya Adli perkosa?” Tubuhku terasa
lemas, rasanya aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Melihat wajahku yang pasti
sudah menjadi pucat pasi Adli menghampiriku. Aku mencoba berontak, tapi rasanya
tenagaku sudah menguap entah kemana. Tersenyum agak menyeringai Adli, seperti senang
melihat keadaanku begitu tak berdaya. Lalu katanya, “Obatnya manjur ya neng!
Tapi nggak pusing kan?” Lalu dibimbingnya aku menuju ke ranjang, yang sepreinya
tampak sudah agak belel itu. “Aduh tolong Adli, jangan dong, jangan.” Tapi Adli
hanya diam saja, bahkan dengan tenang direbahkannya tubuhku ke atas
pembaringan.
Pelan-pelan dan satu persatu dilepasnya busanaku.
Sesekali dikecupnya tubuhku di sana sini. Aku yang sudah lemas sekaligus
ketakutan lama kelamaan semakin merasa pasrah. Mulai kucoba untuk menikmati apa
yang sedang dilakukan Adli. Walaupun hatiku terasa memberontak, kusadari
kemaluanku sudah mulai agak basah. “Neng, neng Mimien, udah lama rasanya Adli
nggak nyiumin badannya neng Mimien yang begini wangi.” Aku hanya tersenyum
lemah, sekarang aku sudah bersikap menyerah. Maka Adli memulai apa yang rupanya
telah dipersipkannya dengan matang. Diemut-emutnya puting dadaku dengan ganas,
dicium-ciumnya seluruh tubuhku. Pada waktu bibir dan lidahnya menyapu betis dan
pahaku aku sampai menggigil kegelian. Puncaknya adalah pada waktu ia menjilati
‘vagina’ku.
Lidahnya ganas menyapu, mulai dari selangkanganku
hingga ‘bibir kemaluan’ku. Mulanya rasa geli yang kualami masih dapat aku
tahan. Tapi akhirnya daya tahanku bobol juga. “Aduh Adli udah … udah … ampun
Yasmin nggak tahan!” Begitu saja aku berteriak, sementara tubuhku
menggeliat-geliat mencoba membebaskan diri dari cengkeraman laki-laki ganas
ini. “Neng Mimien, neng Mimien, Adli kangen sekali,” … katanya sambil menciumi
bulu halus kemaluanku. Lalu sambungnya lagi, … “Kenapa selama ini neng Mimien
menjauhi Adli?” Terbit juga rasa penyesalan di hatiku, berbarengan dengan
semakin meningkatnyanya gairah birahiku. Kutatap laki-laki tampan tapi lugu
itu, lalu kuambil keputusan yang tidak lagi mengandung keraguan. “Adli, siniin
punya kamu, aku juga udah kangen!” Suaraku terdengar agak serak, dan nafaskupun
memburu kencang. Sekejap Adli terdiam, seperti tidak percaya ia menatapku. Lalu
ia menegakkan tubuhnya dan beranjak mendekati wajahku. Segera tanganku
menyambar tali ikat pinggangnya, dan segera kulepaskan.
Rasanya tidak sabar aku karena masih harus menurunkan
‘ruitslijting’ celana ‘jeans’ nya dan melorotnya ke bawah. Padahal setelah itu
di baiknya masih ada celana dalam lagi. Aku merasa sudah sangat tidak sabar.
Maka sebelum seluruh celananya berhasil kulepas turun aku sudah memerosotkan
celana dalamnya. Wajah Adli terlihat senang melihat tanganku begitu bergairah
menggenggam ‘alat kejantanan’nya yang besar dan tegang mencuat itu. Langsung
kuciumi dan kuusapi dengan bibirku. Diikuti jilatan lidahku yang terus menerus
bergerak dengan lincahnya. Karena Adli berada pada posisi mengangkang di atasku
maka aku dapat menikmati semua ‘kepunyaan’nya. Selangkangan dan ‘buah zakar’nya
sempurna kujilati, hingga membuat Adli merintih-rintih keenakan.
Tapi tidak lupa juga ia pelan-pelan melepas celananya,
yang tadi baru sampai kulorot kebawah. Setelah itu sementara aku mengulum
‘bonggol kemaluan’nya, dan kemudian mengemut-emut seluruh ‘batang
kejantanan’nya itu dalam mulutku, Adli melepas BH-ku yang masih terpasang.
Dengan lembut diramas-remasnya payudaraku, sambil sesekali memainkan putingnya.
Sejenak sempat kulirik wajahnya sedang tersenyum-senyum kecil. Rupanya ia
sedang memandangi aku yang sedang melahap ‘daging keras’nya. Sempat agak merasa
malu juga aku dibuatnya, tapi karena sedang asyik-asyiknya kuputuskan untuk
berlaga seolah-olah tidak sadar. Begitulah ternyata malam ini aku dan Adli
kembali dipertemukan. Barangkali memang sudah jodohnya.
“Neng, neng Mimien, sekarang Adli masukin ya?” Suara
pemuda itu terdengar mengusikku. Sempat terbersit keinginan di hatiku untuk
menolaknya, tapi akhirnya birahiku yang sudah sangat memuncak mendorongku
mengambil keputusan yang berbeda. Kutatap dia dengan lembut, lalu kuiyakan
permintaannya. “Tapi pelan-pelan ya Dli, soalnya, soalnya,” … aku kebingungan
memilih kata-kata yang tepat. Adli tersenyum bangga. Diteruskannya apa yang
kumaksud dengan berkata, … “Soalnya belum pernah dimasukin yang sebesar ini
ya?” Aku hanya dapat mengangguk pelan, rupanya Adli telah dapat membaca
pikiranku. Kemudian Adli membuka selangkanganku, sementara mengemut-emut puting
dadaku, seperti seorang bayi besar yang sedang dahaga.
Diusap-usapnya bibir kemaluanku dengan ‘ujung
kejantanan’nya. Aku menggelinjang kegelian, sudah merasa ingin, tapi juga agak
takut. Ketika Adli mendorong kepunyaannya itu masuk, rasa pedih yang amat
sangat melanda seluruh tubuhku. Ternyata ‘kepunyaan’ku agak sempit dibanding
‘kepunyaan’nya. “Aduh Adli sakit …, sambil kugigit bibirku. Dia berhenti
sejenak, lalu mulai mendorong ‘alat kejantanan’nya kembali. Setelah
kurang-lebih masuk setengahnya tiba-tiba Adli mendorong agak keras, hingga
membuatku menjerit. “Aduh, aduh, aduh, sakit sekali sayang,” … sambil kucoba
merenggangkan pahaku selebar-lebarnya. Rasa pedih yang kuderita berlangsung
selama kurang-lebih dua menit, sebelum berangsur-angsur mereda. Lubrikasi dari
liang kemaluanku akhirnya semakin mempermudah gerakan ‘alat kejantanan’ Adli,
sehingga dapat bergerak maju mundur lancar.
Aku merinding dan menggigil dilanda kenikmatan yang
baru sekali ini aku rasakan. Belum pernah ‘liang kewanitaan’ku menerima
kunjungan ‘benda asing’ milik lelaki yang sebesar ini. Karena memang selama ini
pengalaman yang kumiliki hanyalah dengan mas Heru. Dibanding suamiku kelebihan
Adli bukan hanya karena ukuran ‘alat vital’nya yang besar, tetapi dia sendiri
juga pandai memainkannya. Akibatnya baru sepuluh menit saja aku sudah mencapai
orgasmeku yang pertama. Rasanya tubuhku melambung tinggi, dan terbawa melayang
entah kemana. Tanpa kendali lagi aku menjerit-jerit memanggil nama pemuda itu,
sambil sesekali menggigit-gigit lengannya. Setelah perasaanku mereda baru
kusadari bahwa Adli masih dengan gagah menunggangiku.
Terpaksa kuatur nafas dan posisi diriku, supaya bisa
mengimbangi keperkasaannya. Menjelang Adli mencapai klimaksnya masih sekali
lagi aku dilanda gelombang nikmat orgasme kewanitaanku. Maka ketika kudengar
Adli berkata, … “sekarang Adli lepas ya,” … aku hanya dapat mengiyakannya saja.
Begitu kukatakan, … “Iya Dli, iya sayang, tolong sekarang aja … akh,” …
langsung Adli memperhebat gerakan menghunjamnya. “Neng, neng Mimien, neng …
aduh neng … aaahhh,” … demikian Adli meracau sambil mendorong ‘kepunyaan’nya sedalam-dalamnya
memasuki ‘liang’ kewanitaanku. Sangat erat ia memeluk tubuhku, sementara
jari-jariku meremas punggungnya, karena ‘orgasme’ yang juga sedang kualami.
Setelah beberapa saat berlalu, barulah gerak dan erangan kami berdua mereda.
Adli masih membiarkan kepunyaannya di dalam kepunyaanku selama beberapa saat,
setelah itu baru ditariknya keluar. Sebagian dari ’siraman’nya tadi ikut
mengalir tertumpah di selangkanganku.
Nampaknya melakukan hubungan yang memuaskan itu
cenderung membuat diriku lapar. Atas permintaanku Adli memesan hidangan dan
minuman dari restaurant. Begitu tiba langsung kusantap dengan sepuas-puasnya.
Setelah itu kuminta Adli untuk mengantarku pulang. Tetapi ternyata dia belum
mau, karena katanya belum puas menyetubuhiku. Terpaksa kulayani dia sekali
lagi. Ternyata permainan yang kedua ini juga tidak kalah dibanding yang pertama
tadi. Kembali ia membawaku ke puncak ‘orgasme’ku, sebelum ia sendiri
menyiramkan ‘air mani’nya ke ‘liang rahim’ku untuk kedua kalinya. Aku
sungguh-sungguh merasa puas, kuyakin begitu pula dengan Adli. Akhirnya baru jam
1 malam aku memasuki rumahku. Untunglah mas Heru sudah tertidur lelap, sehingga
aku terlepas dari kewajiban untuk menjelaskan apapun padanya.
Hubunganku dengan Adli menjadi sangat
akrab setelah peristiwa di malam itu. Ternyata biarpun lugu, sikapnya romantis
juga. Bercinta dengannya akhirnya menjadi suatu kebutuhan rutin untukku. Kalau
lebih dari seminggu tidak ditungganginya perasaan dan emosiku benar-benar
menjadi kacau. Begitu pula halnya dengan Adli. Malah karena nafsu birahinya
yang ternyata cukup besar, sering ia meminta jatahnya sampai dua kali seminggu.
Untunglah hubungan kami tidak pernah sampai diketahui orang lain. Demikian pula
mas Heru tidak pernah merasa curiga sama sekali.
Beberapa bulan kemudian ternyata aku
hamil. Baik mas Heru maupun Adli menyambut kehamilanku itu dengan gembira.
Demikian pula tentunya orang-tuaku dan orang-tua mas Heru. Aku memang juga
gembira, tapi juga kuatir apa yang akan terjadi di masa depan nanti. Rasa
kekuatiranku semakin bertambah karena anak yang kulahirkan ternyata tidak mirip
dengan mas Heru. Sekali lagi aku beruntung karena mas Heru tidak merasa curiga
sedikitpun. Sebelum tiga tahun berlalu aku dianugerahi seorang anak lagi, kali
ini wajahnya mirip mas Heru. Sehingga
lengkap sudah rasanya kebahagiaanku.